26/06/08

Siti Ditinggal Masuk Bui

Hai Siti, apa kabarmu setelah lama ditinggalkan Ahmad?
Kudengar kau makin lama makin mengeluh sendiri
Ahmad baru keluar penjara tujuh tahun lagi
Jadi, sabar saja.

Hai Siti, aku kemarin bertemu dengan Bangor
Ia menanyakan kabarmu, lalu kujawab ‘tidak tahu’
Bangor kini menjadi seorang saudagar kaya
Berjualan rempah diselingi permata

Hai Siti, bagaimana kau sanggup hidup seorang diri?
Tanpa suami dan sanak famili
Tolong pikirkan, kalau boleh aku sarankan
Bagaimana kalau Bangor jadi pengganti Ahmad?



***
Jakarta, 7 Mei 08

Main Hati Dengan Siti Main Hati Dengan Siti Main Hati Dengan Siti

Aku menangis ketika akad nikah seminggu yang lalu. Semua menenangkan dan ikut terharu. Padahal aku menangis karena Siti, kekasihku yang dulu.

Malam pertama aku lalui dengan gemetar, karena baru kali itu aku melaluinya, dengan selain Siti. Aku mematikan lampu, istriku menyangka bahwa aku terlampau gugup atau malu. Padahal sebenarnya aku hanya bisa bercinta dengan membayangkan tubuh Siti-ku.

Seminggu berlalu tanpa cumbu. Yang ada hanya istriku yang terus merayu. Namun apa daya, hatiku tak mampu menepis cinta yang terlanjur membiru pada kekasihku yang dulu.

Dua puluh satu menit yang lalu aku menelpon Siti. Aku bilang kalau aku ingin kawin lagi. Tentunya dengan Siti. Siti menolak dengan alasan aku terlampau bodoh untuk kembali.

Lima menit yang lalu aku bicara dengan istri. Aku mengakui kalau aku sudah main hati, dengan Siti. Di luar perkiraanku yang seharusnya istri marah, ternyata malah tersenyum. Ia menyuruhku kawin lagi. Tapi, ia yang pergi.


***
Jakarta, 21 Juni 2008

Siti Naik Kereta

Siti sampai di stasiun Jakartakota siang itu. Ia rupanya ingin kembali bernostalgia. Biasanya ia diantar supir, namun karena ini adalaah hari ulang tahunnya, maka ia memutuskan untuk naik kereta ekonomi saja. Jangan tanya pada saya apa hubungan antara ulang tahun dengan kereta, itu hanya Siti yang tahu. Sempat saya mencuri dengar ketika Siti berbicara dengan Stephanie, Situ selalu teringat akan aroma tubuh Pongky yang mendekapnya dalam kereta ekonomi. Maka itu, kini ia kembali naik kereta. Ah, kenapa jadi bertele-tele, ya? Sudahlah.

Siti tertegun ketika ia memasuki peron. Banyak sekali orang yang menunggu kereta. Lalu keretanya mana? Belum ada satu pun batang hidung kereta-kereta itu. Panjang umur, beberapa menit kemudian satu kereta jurusan Bekasi tiba. Kereta orange-biru itu langsung diserbu calon penumpang. Penumpang banyak yang membawa kardus-kardus besar, sepeda dan tas punggung. Beberapa orang menyenggol tubuh Siti, entah sengaja atau tidak, menuju arah kereta tersebut. Siti terhuyung, lalu merasa lehernya perih. Kalungnya telah dicuri. Siti tidak berteriak, karena ia tahu tidak akan ada gunanya. Ia hanya menyeka sedikit darah dengan tissue.

Kereta tujuan Bogor akhirnya tiba. Kereta itu bahkan diserbu calon penumpang yang dua kali lipat banyaknya. Siti terpaksa mengikuti arus masuk ke gerbong dua. Jangankan duduk, berdiri pun susah. Lampu di dalam gerbong yang tidak menyala membuat para penumpang berkeluh kesah. Tiba-tiba, bokong Siti serasa ada yang menjawil. Kali ini Siti teriak. Namun percuma, karena suara penjual pita rambut lebih keras dari teriakan Siti.

Turun di stasiun Tebet, wujud Siti sudah tidak karuan. Rambutnya berantakan dan pakaiannya pun jadi lecek. Lehernya perih dan bokongnya dijawil. “Lain kali aku naik kereta sama Mas Pongky aja,” batinnya. Jangan tanya saya kenapa dia punya konklusi demikian, karena saya bukan Mas Pongky.


***
Jakarta, 26 Juni 2008

27/05/08

PoST EffeCT

Jika aku dapat melompati masa dan berlalu ke masa ketika aku dilahirkan, maka aku akan memilih untuk diam. Tidak menangis dan merengek. Aku ingin tahu, apakah setelahnya aku bisa tidak merajuk? Terlebih jika menghadapi kenyataan bahwa nyawaku akan diambil setelahnya.

Kau pun begitu, dengan serta merta memojokkan posisiku yang terjalar dilema berkepanjangan, hingga sesak kepala ini. Bisakah kau meredupkan cahaya itu? Hingga aku dapat bernafas lebih lega.

Sungguh tidak menyenangkannya hidup dalam ketidakpastian, terombang-ambing oleh segala kemunafikan dan janji semu.

***
6 Mei 2008

JUNO; Berpikir Positif Aja!

Bagaimana jika mengetahui dirimu hamil sebelum menikah? Juno (Ellen Page) mengalami hal ini, tanda positif di alat test pack muncul berkali-kali dalam setiap pemeriksaannya. Dia pun panik dan shock, karena perbuatan ‘iseng-iseng’ di atas kursi dengan teman sekolahnya, Paulie Bleeker (Michael Cera), membuahkan hasil. Berawal dari keingintahuan besar juno terhadap sex, maka ia pun melakukan hubungan intim bersama Paulie Bleeker, teman satu sekolah dan satu band. Akibatnya, Juno yang masih berusia 16 tahun itu mengalami kehamilan yang sama sekali tidak dikehendakinya.

Juno sempat berpikir untuk melakukan aborsi, tapi berkat tukar pikiran dengan sahabatnya, Leah (Olivia Thirlby), Juno akhirnya mengurungkan niatnya. Mereka mencari iklan di koran dan mendapatkan ada sebuah pasangan kaya yang ingin adopsi anak. Berbagai permasalahan pun datang dan ledakan emosi terjadi secara apik.

Awalnya saya mengira bahwa yang selanjutnya terjadi adalah konflik antara Juno dengan Bleeker atau Juno dengan orangtuanya, tetapi ternyata yang terjadi diluar prediksi. Luapan emosi yang umumnya terjadi karena kesalahan fatal itu tidak terjadi di sini. Pendeknya, emosi yang keluar sangat lembut, sehingga jantung penonton tidak harus berdetak cepat saat melihat konflik.

Warna-warni yang cemerlang sepanjang film, juga permainan grafis yang menerangkan pergantian musim tampak membuat film makin menarik. Tampaknya, inilah konsep yang hendak disampaikan oleh para pembuatnya; sebuah film yang mengharuskan orang berpikir jernih seberat apapun masalahnya.

Akting semua pemainnya pun cukup bagus dan natural. Ellen Page dipuji banyak orang karena aktingnya. Michael Cera juga pas memerankan karakter cowok yang lugu. Komposisi pemain tampak sangat dipikirkan hati-hati oleh Jason Reitman selaku sutradara, yang juga pernah menggarap Thank You For Smoking.

Juno berhasil meraup penghasilan komersil US$ 213 juta di seluruh dunia dan sekaligus mendapat Best Original Screenplay di ajang Academy Award 2008. Ada yang tahu mengapa diberi judul Juno? For your info, Juno adalah salah satu istri dewa Zeus. Nah, ada yang bisa mengaitkannya sekarang? [heripurwoko]

CInta Itu

Cinta itu biru, seperti warna langit yang akan segera menyapamu. Bergerak bebas awan di ruangnya dan membentuk gemerlap petir di antaranya. Burung-burung pun akan terbang berarakan menembus cakrawala. Dengan riang, dengan pola yang konstan. Jika kamu hadir, bersiaplah untuk disambut olehnya. Jangan ragu dan jangan takut, karena semuanya adalah teman. Teman mainmu, teman hidupmu, sahabatmu.

Cinta itu tenang, seperti air yang diam di telaga. Jika angin datang, maka permukaannya akan berdesir ringan membentuk riak-riak kecil. Dedaunan akan jatuh dan sejenak melayang sebelum jatuh ke permukaannya. Anggang-anggang berjalan riang diatasnya, ditemani oleh kumbang gasing dan capung jarum, membentuk serangkaian nada yang pastinya akan kamu senangi. Jangan bimbang, karena semuanya adalah saudara, kerabat, sanak tanpa jarak.

Aku menunggu hadirmu, menunggu datangnya rindu. Jangan kau lari atau sembunyi. Cinta itu kamu, Banyu. Seperti namamu yang menenangkan, tapi juga bisa menghanyutkan.




***



Depok, 11 Mei 2008

21/04/08

RI 10

“Kamu tahu RI 10 itu siapa?”
“Tidak. Kenapa?”
“Hampir menabrakku di Lenteng Agung. Mentang-mentang pejabat, seenaknya aja kalau di jalan umum. Padahal kalo dipikir-pikir, semua orang juga punya kepentingan.”
“Oh.”
“Kok cuma ‘oh’?”
“Ya dimaklumi saja, ayahku memang begitu.”


***
Jakarta, 21 April 2008

Sandal Jepit

Sandal jepitku, aku menggigil pagi ini. Mungkin karena dia yang menenggelamkan tubuhku malam tadi.

Jika aku melupakanmu, mungkin itu bukanlah kesengajaan. Sama ketika aku membuat tubuhmu terluka. Aku menjumpaimu hanya sebelah, kemana yang sebelah lagi? Apa mungkin dirampas olehnya? Si perempuan keji itu. Yang menatap matanyapun membuatku selalu ingin meludah. Aku tahu, sebagai lelaki berakal, harusnya aku mencari perempuan lain. Tapi aku lebih memilih untuk tinggal, mengingat ia begitu menyayangiku. Setidaknya, begitu ucapnya. Sayangnya, ia tidak menyayangimu, sandal jepitku. Apakah aku harus meninggalkannya demi dirimu? Mungkin setelah itu, sandal jepitku yang sebelah bisa kembali.

Sandal jepitku, aku benar-benar menggigil pagi ini. Mungkin karena dia memang menenggelamkan tubuhku malam tadi.


***
Jakarta, 21 April 2008

18/04/08

Gantung

Charger itu kini meracau pada Compo dan Hair Dryer, karena dirinya yang sudah tidak disentuh lagi oleh pemiliknya.

“Sial, kalau sudah tidak mau ya bilang saja. Jangan didiamkan seperti ini!” ucap Charger setengah berteriak.


“Yah, jangan protes sama saya dong. Kalau mau, bikin aja korslet listrik di rumah ini. Biar terbakar dan…” sahut Hair Dryer terpancing emosinya.


“Dan kita juga meleleh, mati. Mau?” timpal Compo.


Semuanya terdiam. Charger dan Hair Dryer mengalihkan pandangan ke arah lain.


“Padahal, kalau kalian tahu, aku juga sakit hati karena tidak pernah digunakan. Kalian pikir enak cuma dibuat alas kipas angin atau alat make up? Kita ini sama-sama digantung, tidak jelas mau diapakan. Kita cuma menunggu, tanpa tahu menunggu apa sebenarnya,” Compo berbicara dengan lirih, suaranya pun agak serak.


Tak lama, pemilik barang-barang elektronik itu masuk ke dalam kamar. Ia mengangkat charger. Charger senang karena dirinya merasa akan benar-benar digunakan kali ini. Tapi ternyata, pemilik itu malah memasukkannya ke dalam kardus, begitu juga dengan compo dan hair dryer.


“Sayang, buruan dibuang. Barang-barang rusak gitu kok tetep disimpan sih?” ucap seorang perempuan dari ruangan lain.


Lelaki itu mencium charger, compo dan hair dryer dengan khidmat, sebelum ia menghibahkannya ke tukang loak yang menunggu di depan pagar rumah.





***
Jakarta, 15 April 2008

Kartunis

Kartunis itu mati dalam keadaan hidup-hidup, beserta seorang istri dan dua anaknya yang masih kecil. Berita di minggu pagi itu segera menyeruak ke seluruh dunia. Ia memang seorang yang juru gambar dan bukan itu yang menyebabkannya dikenal dunia. Tapi, buah karyanya yang sangat kontroversial beberapa tahun lalulah penyebab awal ia menjadi sorotan publik.

Awalnya sederhana, ia hanya mengejawentahkan apa yang ada di pikirannya mengenai sosok sebuah fenomena alam ke dalam sebuah gambar kartun. Memang agak terkesan mengejek. Bahkan hal itu bertentangan dengan kepercayaan yang telah ada. Ia menganggapnya itu sebuah kebebasan, namun khalayak umum memandangnya sebagai pelecehan. Pelecehan kepercayaan dan kebebasan itu sendiri. Kartunis itu lantas teringat bagaimana Galileo atau Socrates di akhir hidupnya. Sedikit gentar agaknya ia. Namun terlambat, karyanya dimuat di harian ibukota negeri itu. Sudah bisa ditebak, respon negatif muncul di mana-mana. Sekitar tujuh puluh persen penduduk dunia mengecamnya. Gerak kartunis itu kini tak lagi bebas. Ia bahkan membatasi ruang bagi istri dan anaknya untuk berhubungan dengan dunia luar. Apartemen mereka pun disegel, menyusul pembakaran poster dirinya dan bendera negerinya di berbagai belahan dunia. Kartunis itu lantas membawa keluarganya keluar kota, kemudian kembali pindah menuju area perbatasan. Istrinya sakit di tengah jalan, kondisi kedua anaknya pun tak kalah turunnya. Mereka kini menjadi bulan-bulanan di sepanjang jalan, diludahi dan dilempari tahi. Hanya gara-gara sebuah gambar kartun.

Pelarian mereka akhirnya terhenti di sebuah persimpangan negeri. Kabarnya, di desa kecil tersebut kebebasan sangat diagungkan. Kartunis itu mempercayai hal tersebut, terlebih ketika melihat beberapa anak muda berlarian telanjang menuju sebuah ayunan di bawah pohon besar, seorang paruh baya yang menempel simbol keagamaan secara terbalik di depan rumahnya, juga anak kecil yang memasukkan kemaluannya ke seorang pelacur. Maka, kartunis itu membangun rumah di sana, di atas sepetak tanah sewaan. Keluarganya pun berangsur-angsur membaik. Istrinya kini bahkan memberi semangat pada si kartunis untuk membuat gambar-gambar kontroversial. Walau awalnya takut karena masih trauma, tapi perlahan ia membuat gambar lagi. Kali ini, idenya lebih gila, ia menggambar tuhan dengan cara yang sangat ekstrim, berpelukan dengan pelacur. Gambar itu lantas dipajang di depan rumahnya. Ia tidak puas. Kartunis itu ingin agar karyanya dipublikasikan ke seluruh dunia. Beberapa orang di desa itupun mendukungnya.

Sampailah karya itu di media internet. Kini, tidak hanya ia dan keluarganya yang terancam, tapi bahkan seluruh penghuni desa. Beberapa orang yang panas dengan gambar tersebut memburu sang kartunis, begitu juga dengan kelompok yang dulu sempat ingin menghabisinya. Kekuatan lawan sang kartunis meningkat pesat. Maka ia kembali diburu. Seisi desa melarikan diri begitu mendengar hal tersebut. Akhirnya, semuanya berakhir ketika rumah sang kartunis terbakar dalam hujan. Jeritan dan raungan kesakitan terdengar dari dalam rumah tersebut. Bukan, bukan siapa-siapa yang membakar rumah itu, bahkan kejadian itu begitu cepat sebelum para pemburu tiba.



***
Jakarta, 18 April 2008

14/04/08

Sisir Biru

Sisirku tergeletak pasrah di meja dekat lemari baju. Tampaknya ia menunggu untuk kusentuh. Aku tahu, dengan dua minggu lebih mengacuhkan mungkin membuatnya sakit hati. Selama itu pula aku tidak menggunakan sisir sama sekali. Sebenarnya ini tidak perlu terjadi seandainya saja ia tidak mengecewakanku. Coba bayangkan, di depan perempuan yang kutaksir selama tujuh bulan terakhir itu, sisirku keluar dari saku belakang ketika aku berdiri. Ia membawa serta gumpalan-gumpalan ketombe… dan jatuh di meja cafĂ©. Tepat di depan matanya. Hancur harapanku, sekarang aku bahkan tidak dapat menghubungi perempuan itu lagi. Mungkin karena lantaran aku terlalu jorok di matanya. Sekarang, aku pun berlaku sama pada sisir biruku. Aku membiarkannya tergeletak tanpa pernah kusentuh lagi.

Mungkin sebentar lagi aku buang.


***
Jakarta, 14 April 2008

10/04/08

Kembali Kanak-Kanak

Kamu tahu, ketika Peterpan kembali ke Neverland, dia mendapati dirinya yang terlalu dewasa. Keceriaan masa kecil itu sempat hilang, hingga butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa mengingatnya, mengembalikannya. Menyesalkah Peterpan mengetahui itu semua? Mungkin. Tapi satu yang pasti, ia senang kembali ke Neverland. Bertemu kawan-kawan semasa kecil sungguhlah menyenangkan. Di sana, ia tidak takut melanggar aturan, karena mereka sendiri yang membuat semua aturan.

Beberapa saat kemudian, Peterpan kembali terseret ke dunia nyata. Ternyata hanya mimpi ia kembali ke Neverland. Kenyataan memang tak semanis yang ia pikirkan, tapi juga tidak begitu pahit jika dirasakan. Maka, dengan lemas ia pergi ke toilet, untuk buang air kecil. Lalu berkaca di cermin, hendak mencukur kumis dan jenggotnya yang selalu tumbuh lebat. Betapa terkejutnya ia, melihat bayangan dirinya di cermin yang kembali muda.

Dan Tinkerbell pun mengintip tersenyum di balik pintu.


***
Jakarta, 23 Maret 2008

koma



(untuk almarhum Munir)


Belum selesai perjuangan
Jalanku pun masih terbuka
Masih ada banyak beban yang harus aku pikul sendiri
Ku daki sendiri...
Sendiri...

Loyalitas negeri ini pada hati begitu memprihatinkan
Tugasku untuk memberinya mahkota
Tapi aku hanya bergerak sendiri
Menari sendiri...
Hingga tiba waktuku...

Dan semua masih belum usai



***


Jakarta, 14 September 2004

09/04/08

Dengarkan Aku

Maafkan aku yang terlalu mengharapkanmu
Hiraukan aku yang selalu di belakangmu
Ku tak peduli walau apa yang terjadi
Ku ingin di sini dan kau masih tak mengerti

Luangkan sejenak waktumu kali ini
Cobalah mengerti gelisah dalam hati
Ku ingin kau sadari bahwa ku hanya untukmu
Dan hanya aku yang bisa melengkapimu

Mohon dengarkanlah semua prmintaanku
Entah sampai kapan kau menjauh dariku
Bila saja ku tahu apa yag masih mengganggu
Tolong biarkanku mengisi sisa waktumu

Biru

Masih teringat jelas tentangmu
Yang selalu hadir dalam bayangku
Mendera inginku untuk kembali merengkuhmu

Senyummu yang menenangkan sendu
Tangismu yang meluluhkan kalbu
Caramu memperlakukanku rayu

Tapi mengapa semua hanya rindu
Kita terpisah ruang dan waktu

Dirimu sangat berarti bagiku
Kau beri yang terindah untukku
Semua hal kurasa begitu ceria dulu

Ketika kau pergi malam itu
Seutas mimpi pun terbang menjauh
Rasa pilu menghujam seluruh batinku

Dan semua rindu hanyalah rindu
Kita terpisah ruang dan waktu
Kenanganmu masih tetap membiru
Meraga sukma dalam diriku yang beku


***

Jakarta, 1 Juni 2004

27/03/08

Don't Leave Your Friends

A man and his dog were walking along a road. The man was enjoying the scenery, when it suddenly occurred to him that he was dead.He remembered dying, and that the dog walking beside him had been dead for years. He wondered where the road was leading them.

After a while, they came to a high, white stone wall along one side of the road. It looked like fine marble. At the top of a long hill, it was broken by a tall arch that glowed in the sunlight. When he was standing before it he saw a magnificent gate in the arch that looked like mother-of-pearl, and the street that led to the gate looked like pure gold. He and the dog walked toward the gate, and as he got closer, he saw a man at a desk to one side.

When he was close enough, he called out, "Excuse me, where are we?"

"This is Heaven, sir," the man answered.

"Wow! Would you happen to have some water?" the man asked.

"Of course, sir. Come right in, and I'll have some ice water brought right up."

The man gestured, and the gate began to open.

"Can my friend," gesturing toward his dog, "come in, too?" the traveler asked.

"I'm sorry, sir, but we don't accept pets."

The man thought a moment and then turned back toward the road and continued the way he had been going with his dog.After another long walk, and at the top of another long hill, he came to a dirt road leading through a farm gate that looked as if it had never been closed. There was no fence As he approached the gate, he saw a man inside, leaning against a tree and reading a book.

"Excuse me!" he called to the man. "Do you have any water?"

"Yeah, sure, there's a pump over there, come on in."

"How about my friend here?" the traveler gestured to the dog.

"There should be a bowl by the pump."

They went through the gate, and sure enough, there was an old-fashioned hand pump with a bowl beside it.

The traveler filled the water bowl and took a long drink himself, then he gave some to the dog.

When they were full, he and the dog walked back toward the man who was standing by the tree.

"What do you call this place?" the traveler asked.

"This is Heaven," he answered.

"We ll, that's confusing," the traveler said. "The man down the road said that was Heaven, too."

"Oh, you mean the place with the gold street and pearly gates? Nope. That's hell."

"Doesn't it make you mad for them to use your name like that?"

"No, we're just happy that they screen out the folks who would leave their best friends
behind."

25/03/08

Berdiri Di Tengah Hujan

Bulir-bulir hujan tadi kini berubah menjadi derai-derai air mata langit yang turun deras menerpa kepalaku. Aku tahu benar bagaimana rasanya dibohongi, diperlakukan semena-mena dan diberi minum air sabun. Bahkan, aku tahu benar bagaimana caci maki menjadi menu utamaku setiap pagi. Aku mencoba sabar, berharap esok akan lebih baik dan semua ketakutanku akan terbayar dengan senyuman. Tapi kenyataannya, hari ini kau pergi. Aku sendiri kau tinggalkan tanpa secarik pesan kecil berisi kata-kata kasar di lemari pendingin seperti kemarin atau kemarinnya lagi.

“Ia akan baik-baik saja,” ujar seorang bertubuh gempal di sebelahku yang sama sekali tak kukenal. Ia menggunakan payung besar warna merah untuk menahan hujan. Aku menjadi teduh karenanya.

“Tidak, aku yang akan baik-baik saja, bukan?”

“Yah, itu juga,” ia tersenyum.

Aku memang akan baik-baik saja, tapi aku pasti akan sangat rindu denganmu nanti. Seorang perempuan di tandu tak berdaya menuju ambulance.

Tempat ini kemudian menjadi sangat ramai dan terdengar beberapa gunjingan tentang bagaimana ibu menganiaya aku. Ya, hanya aku. Itu dia yang membuatku tak habis pikir. Dan aku menjawabnya hari ini.

“Selamat tinggal ibu,” ucapku lirih.


***

Jakarta, 20 Maret 2008

3:10 TO YUMA, Ketika Hati Bicara

Saya menangis di menit-menit terakhir. Adegan Dan Evans (Christian Bale) ketika ‘melarikan’ Ben Wade (Russel Crowe) menuju stasiun kereta api. Mereka harus melewati terjangan peluru yang bertubi-tubi ke arah mereka. Film yang disutradarai oleh James Mangold ini sungguh menghadirkan efek psikologis yang menghentak di diri saya.

Film ini bererita tentang tertangkapnya buronan bernama Ben Wade yang sering ‘menyusahkan’ orang-orang berduit. Bersama beberapa anak buahnya yang kejam, mereka merampok sana-sini. Suatu ketika ia tertangkap dan dirinya terancam hukuman gantung di penjara Yuma. Seorang veteran perang Dan Evans yang kini menjadi petani berniat untuk mengawal dan memastikan Wade sampai ke stasiun Yuma pukul 3:10 esok hari. Ya, sebuah kereta akan tiba dan kemudia mengantarkan buronan itu ke penjara. Tidak hanya Evan sendiri, ada beberapa orang lain yang juga menjadi 'pengantar' Wade. Bukan apa-apa, namun sekedar untuk berjaga-jaga memastikan bahwa tidak ada anak buah Wade yang mengacau rencana mereka di tengah jalan.

Di dalam perjalanan, Evan dan Wade saling mengenai satu sama lain. Dua karakter yang berbeda itu kini tengah menyelami sisi psikis lawannya. Sementara itu, satu-persatu rekan seperjalanan mereka gugur satu persatu. Berhasilkah Evan memenuhi janjinya untuk membahagiakan keluarganya dengan uang yang di dapat dari pekerjaan ini?

Selain adegan baku tembak khas koboi dan pemandangan alam Amerika yang gersang pada masa itu, kita juga dihadapkan pada sisi psikologis para tokoh utamanya. Hal inilah yang mungkin tidak dieksplorasi di film-film dengan genre sejenis. Ketenangan karakter Wade yang dimainkan oleh Russel Crowe membuat lawan mainnya, Evan, menjadi penuh waspada. Kewaspadaan itulah yang membuat perbenturan karakter antar keduanya menjadi terbangun. Siapa yang menyangka dibalik keberanian Evan yang luar biasa, ia menyimpan kerapuhan dan permasalahan keluarga.

Satu hal yang unik adalah, jadwal kereta di sana sangat tepat. Saya jadi membandingkan dengan kereta Bogor-Jakarta saat ini, sangat miris.

THE SPIDERWICK CHRONICLES, Jangan Abaikan Larangan Yang Ada

Akankah The Spiderwick Chronicles menjadi jawara dalam jajaran box office? Semoga saja nasibnya tidak seperti The Golden Compass atau The Seeker yang terpuruk belakangan ini. Memang pasca Harry Potter dan The Lord of The Ring, genre adventure-fantasy seakan dihidupkan kembali. Namun, tidak semua berhasil mengungguli kedua film raksasa tersebut.

Harapan positif sebenarnya banyak muncul untuk film The Spiderwick Chronicles, termasuk saya. Ceritanya cukup sederhana dan kemasannya juga menarik. Berawal dari keluarga Grace yang pindah ke sebuah rumah milik buyut mereka, Arthur Spiderwick. Si kembar Jared dan Simon Grace (Freddie Highmore), Mallory (Sarah Bolger) dan ibu mereka, Helen Grace (Marie Louise Parker) memang sengaja pindah ke rumah tersebut setelah perceraian yang terjadi antara Helen dengan sang suami.

Jared yang sering dianggap pembuat masalah, segera menjelajahi rumah. Ia mendapati sebuah buku yang disegel di dalam sebuah peti besar. Ketika ia membukanya, beberapa kejadian aneh dan berbahaya pun segera memburu mereka. Awalnya Simon dan Mallory tidak percaya, lebih-lebih karena Jared terkenal sering membuat onar, namun ketika kenyataan bahwa mereka diserang secara fisik oleh makhluk-makhluk tak kasat mata bernama Goblin, mereka barulah percaya. Selanjutnya sudah bisa ditebak, perjuangan melawan kekuatan para makhluk fantasi berlangsung hebat. Kunci dari itu semua ternyata ada di buku yang Jared ambil, yang merupakan tulisan Arthur Spiderwick. Buku yang mengungkap berbagai makhluk fantasi yang luput dari perhatian manusia.

Film ini diambil dari buku dengan judul yang sama, The Spiderwick Chronicles, karya Toni DiTerlizzi dan Holly Black yang diterbitkan dalam beberapa seri. Bukunya unik, saya suka, dengan banyak gambar yang menjelaskan cerita itu sendiri. Filmnya sendiri dengan taat mengikuti cerita dan alur di buku, tampaknya para filmmaker ini tidak mau mengambil spekulasi yang aneh-aneh, mengingat resiko yang cukup telak bila gagal.

Khusus untuk permainan Freddie Highmore, ia tampak apik bermain sebagai dua karakter si kembar jared dan Simon. Aktor pemeran Charlie di film Charlie and The Chocolate Factory ini juga mengakui di sebuah wawancara bahwa ia senang bermain di film terbarunya ini, ia juga berkata bahwa untuk bertemu dengan makhluk fantasi, anak-anak tidak perlu harus bermimpi. [heripurwoko]

19/03/08

LIONS FOR LAMBS

Apa jadinya kalau kita terperangkap di tengah sebuah keadaan yang menjemukan, di mana kita tidak bisa merubah keadaan itu. Stuck. Bahkan, tidak jarang kita akan merasakan frustasi atau depresi. Hal inilah yang menjadi tema Lions For Lambs garapan Robert Redford. Redford yang juga duduk di kursi sutradara mengatakan bahwa inilah yang dapat ia lakukan untuk Amerika Serikat. Ia sangat mencintai negaranya tersebut. Ia ingin membuat perubahan dan melempar fakta bahwa ada sekelompok kecil orang di negara itu yang ingin merubah paradigma buruk Amerika di mata dunia. Namun sekali lagi, mereka terperangkap dalam sistem. Yup, selamat datang di lingkaran setan.

Lions For Lambs bercerita tentang tiga peristiwa. Dua mahasiswa Universitas West Coast, Arian (Derek Luke) dan Ernest (Michael Pena) terjun ke medan perang di Afghanistan. Mereka tampaknya terinspirasi oleh dosen mereka, Dr. Malley (Robert Redford), yang dulu sempat berlaga di perang Vietnam. Arian dan Derek adalah mahasiswa cerdas dan bertekad ingin membuat perubahan. Setidaknya, menurut versi mereka, jika mereka bisa kembali dari Afghanistan, status mereka akan meningkat. Nah, kalau sudah begitu, omongan serta perlaku mereka bisa dihargai oleh bangsa Amerika. Mereka yakin hanya dengan cara itulah suara hati mereka bisa didengar.

Dr. Malley sendiri kini menghadapi seorang mahasiswa berandal bernama Todd (Andrew Garfield), yang dinilai cukup cerdas, pandai berbicara dan mengemukakan pendapat, tetapi tidak disiplin. Todd ditegur sekaligus diberi peringatan oleh Malley supaya melanjutkan kuliah atau ia akan mendapat nilai tanpa harus ikut kuliah lagi. Todd ber-argumen bahwa untuk apa ia belajar jika sistem pemerintahan yang ada sangat tidak patut dicontoh. Todd sangat tidak respect terhadap pemimpin di Amerika yang beranggapan bahwa Amerika adalah polisi dunia dan bertanggungjawab terhadap perdamaian dunia. Todd tidak menganggap itu sebagai tindakan seorang manusia dewasa, tidak lebih dari sekedar ego dan ambisi semata. Mahasiswa dan dosen itu terlibat perdebatan serius, mulai dari Plato-Socrates sampai George W. Bush.

Di sisi lain, seorang jurnalis senior televisi bernama Janine Roth (Meryl Streep) mendapatkan wawancara ekslusif dengan Senator Jasper Irving (Tom Cruise). Irving yang mengincar kursi yang lebih bagus di pemerintahan, ingin agar media meng-ekspose perkembangan Afghanistan. Karena Amerika telah mengirim tim kecil untuk menaklukkan negara (yang menurut mereka) teroris tersebut. Janine dan Irving beradu pandangan mengenai kondisi Amerika kini. Irving mengungkapkan betapa bangganya ia kalau bisa membentuk perdamaian, walaupun dengan cara perang dan dibenci sebagian orang. Irving selalu beranggapan bahwa yang Amerika lakukan untuk kebaikan. Namun Janine tidak melihat sisi tersebut, ia justru berpendapat bahwa pemerintah terlalu tergesa-gesa dan ceroboh dalam melakukan tindakan. Perang bukanlah suatu hal yang bisa dijadikan pride. Janine sebagai perwakilan media diharap bisa membantu pemerintah dalam menentukan opini publik. Hal itulah yang menjadi dilema bagi Janine kini.


Film ini sangat kuat dari segi tema, namun terasa terlalu banyak dialog. Kita seperti menonton acara dialog yang penuh perdebatan. Redford tampaknya mengeluarkan energi yang sangat banyak untuk film ini. Terlihat dari intens dan semangatnya di lokasi syuting, juga fokusnya pada naskah. Overall, Lions For Lambs menjadi alternatif yang layak diperhitungkan, terlebih lagi tema yang diangkat sangat up to date. Tetapi masalahnya, saya merasa ini adalah sebuah sisi kesia-siaan, pesimistik dan hanya sekedar pelemparan masalah ke tengah-tengah audience. Tidak ada nilai patriotik atau setitik cahaya harapan bagi Amerika.

Lions For Lambs mungkin hanya sebuah potret mengenai sebuah negara besar bernama Amerika yang terjerat oleh rantai sistem masa lalu yang tidak mungkin mereka pecahkan. Konklusi ini dapat saya rasakan setelah mengetahui ending cerita. Kita akan melihat bagaimana akhir dari scene Todd, Janine dan Arian-Derek. Kita akan melihat bagaimana hasil akhir usaha mereka untuk sebuah perubahan. [hp]

JUMPER


"Seharusnya hanya Tuhan yang punya kemampuan seperti kalian, berada di mana-mana dalam satu waktu," kata Roland sebelum membunuh salah seorang jumper di Asia.

Petikan kata-kata di atas menurut saya merupakan inti dari film Jumper, arahan sutradara Doug Liman. Jika anda tahu Doug Liman yang pernah membuat 'Bourne Identity' dan 'Mr & Mrs. Smith' ini, pasti sudah terbayang bagaimana style-nya dalam menyutradarai. Di film Jumper, permainan special efek dan teknik penceritaannya saya acungi jempol. Tidak berlebihan menurut saya, karena memang itu yang saya rasakan ketika menonton film berdurasi 88 menit ini.

Cerita berawal dari David Rice muda yang tenggelam di sungai, beberapa saat kemudian, ia sudah berada di perpustakaan dalam keadaan basah kuyup. David awalnya tidak mengerti hal tersebut, sampai kemudian ia mengalaminya lagi. Ayahnya yang berang mengejar David sampai ke kamarnya, seketika David sudah berada di tempat lain. Rupanya ia mengerti, ia bisa melakukan teleport, berpindah tempat dalam sekejap.

David muda lalu mempunyai pikiran nakal yang kenyataannya akan membawa dia ke pangkal permasalahan dari film ini. Ia membobol brankas bank. Dengan mudahnya, ia mengambil uang ke dalam karung dan kemudian menaruhnya di dalam kamar, begitu seterusnya hingga kamar itu penuh dengan dollar. David menjadi kaya mendadak. Ia pun bisa berwisata ke berbagai belahan dunia dengan sekejap mata.

Beberapa tahun kemudian, David (Hayden Christensen) dikunjungi Roland (Samuel L. Jackson) di apartemen mewahnya. Itulah awal konflik antara David dengan kaum Paladin, pemburu para jumper. Roland hendak menahannya, tapi David berhasil kabur. Di tengah pelariannya, David bertemu dengan Griffin (Jamie Bell) yang tengah berjuang keras seorang diri melawan Paladin. Awalnya, Griffin tidak mau 'ditebengi', tapi karena memaksa akhirnya David pun boleh ikutan. Peperangan diantara kedua belah pihak tak terelakkan, sampai membawa serta Emily Harris (Rachel Bilson), kekasih David.

Kisah mengenai teleport tentunya tidak asing, setelah kemunculan para teleporter di beberapa seri Star Trek, Nightcrawler di film X-Men dan Alicia Baker di Smallville, tampaknya ide tentang teleporting menjadi cepat populer. Siapa pula yang tidak mau punya kelebihan seperti itu? Anywhere is possible, is that something impossible?

Film yang diangkat dari novel karya Steven Gould ini cukup memanjakan mata dengan disuguhkannya gambar-gambar yang 'nakal', seperti ketika David berjemur di kepala Sphinx. Special efek yang ada juga tampak tidak berlebihan, semua sesuai porsinya. Satu hal yang membuat saya bingung adalah mengenai para jumper, kemana para jumper yang lainnya? Bukankah banyak jumlahnya? [heripurwoko]

18/03/08

ALVIN and THE CHIPMUNKS


Ingin sebuah tontonan yang lucu? Atau kangen sama karakter kartun tupai-tupai nakal tahun 80-an? Tonton aja Alvin and The Chipmunks. Menggelikan, tentu saja. Setelah ada karakter kucing di Garfield atau anjing di Scooby Doo, kini saatnya tupai yang beraksi di Alvin and The Chipmunks. Ada Alvin yang nakal namun pintar, Simon yang sifatnya lebih dewasa dan tidak bisa melihat jelas tanpa kacamata, juga ada Theodore si tupai gemuk yang manja dan plin-plan.

Alvin, Simon dan Theodore adalah ketiga tupai yang mendatangi rumah Dave Seville (Jason Lee) dan membuat kekacauan. Alhasil, Dave pun berperang dan sukses dibuat pingsan dalam ‘peperangan’ tersebut. Ketika siuman, Dave mengetahui bahwa tupai-tupai itu ternyata bisa bicara. Karena sudah terlanjur kesal, akhirnya Dave mengusir mereka. Keputusan Dave segera berubah setelah mengetahui ketiga tupai itu jago bernyanyi. Dave pun mengajak mereka untuk bekerja sama, karena kebetulan Dave juga berkecimpung di bidang musik. Melalui rangkaian perjuangan menembus dapur rekaman, mereka akhirnya sukses. Dave yang mencipta lagu, Alvin-Simon-Theodore sebagai penyanyinya. Alvin and The Chipmunks pun menjelma menjadi artis yang layak diperhitungkan. Lagu-lagu mereka menjadi nomor satu dan show-show mereka selalu dinanti. Masalah mulai muncul tatkala bos perusahaan rekaman yang bernama Ian Hawk (David Cross) mulai mengintimidasi Dave dan menghasut Alvin, Simon, juga Theodore untuk meninggalkan Dave. Ketika ketiga tupai itu menanyakan kepada Dave mengapa tidak mengizinkan mereka untuk tur di luar negeri, Dave berkata bahwa mereka cuma anak-anak yang belum bisa untuk menjadi superstar. Alvin pun berang, ketiganya lalu meninggalkan Dave dan tinggal bersama Ian.

Keputusan para tupai itu membuat sontak hidup mereka berubah. Mereka kini benar-benar merasakan bagaimana menjadi superstar yang dielu-elukan. Hari-hari mereka dipenuhi oleh jadwal konser yang padat, syuting iklan, rekaman, launching ini, launching itu, dan lain sebagainya. Kalau mereka terlihat lelah, maka Ian akan segera memberinya dopping atau energi ekstra. Mereka dipaksa untuk terus bekerja. Kehidupan mereka praktis tanpa istirahat. Kehidupan anak-anak yang seharusnya mereka jalani menjadi hilang. Itulah sebenarnya yang Dave takutkan. Akhirnya, Dave dibantu oleh kekasihnya, Claire (Cameron Richardson), berusaha menyelamatkan Alvin dan kawan-kawan. Apakah bisa? Terlambatkah mereka?

Film berdurasi 91 menit ini merupakan adaptasi dari serial kartun era 1980-an. Secara keseluruhan, film ini sarat akan muatan pendidikan yang bagus. Pertama adalah, bahwa tidak seharusnya anak-anak dieksploitasi dan kedua adalah, menjalani hidup tanpa berlebihan. Tema pentingnya persahabatan dan keluarga juga menjadi issue berikutnya. Jon Vitti dan Will Mcrobb sebagai duet penulis skenario tampaknya berhasil mengangkat isue yang sedang marak di dunia ini. Animasi ketiga tupai-tupai cerdik itu juga sangat apik, detail dan hidup. Di film ini, selain tingkah-tingkah lucu, kita juga akan mendapatkan lagu-lagu bagus dan catchy. So, kalau kamu bingung mau nonton film apa minggu-minggu ini, Alvin and The Chipmunks bisa menjadi pilihan yang baik. Iya dong, daripada nonton film-film horor dan misteri yang nggak jelas juntrungannya. Iya, nggak? [hp]

Lari Untuk Menang

Sejenak, di sela-sela batang rerumputan basah, seekor jangkrik bersembunyi dari kejaran beberapa anak manusia. Jantungnya berdegup kencang. Ia memang berhasil melarikan diri, tapi anak-anak manusia itu sudah terbiasa menangkap para jangkrik. Setelah ditangkap, biasanya jangkrik akan diadu dengan sesamanya. Atau paling beruntung, jangkrik-jangkrik itu dimasukkan ke dalam kandang bambu sekedar untuk dipelihara dan didengar suaranya, sampai mati. Namun jangkrik yang satu ini tidak mau menerimanya, ia tidak rela nyawanya disabung dengan cara seperti itu. Sekedar untuk meninggikan martabat? Atau karena ia merasa punya hak untuk hidup lebih lama? Tidak. Lalu apa alasannya? Jangkrik ini hanya tidak ingin harga dirinya diinjak-injak dan tunduk pada manusia yang katanya makhluk superior itu.

Seketika, jangkrik pemberani ini menemukan cara untuk lari, bukan dari masalah, tapi ke arah sebaliknya. Jangkrik ini berlari mencari perhatian anak-anak manusia itu. Ya, anak-anak manusia itu melihatnya, lalu mengejar dengan suara yang ramai. Jangkrik terus berlari, melompat dan melesat, ke arah semak berduri. Dari kejauhan, terdengar suara teriakan-teriakan mengaduh beberapa anak manusia.


***

Jakarta, 14 Februari 2008

MATAHARI, TULIP dan LILY

I
Aku sangat mencintaimu
Sebisa mungkin membelai lekuk tubuhmu selalu
Juga mengecup segenap kelopakmu
Sanggupkah kau akan hasratku?

Aku sangat merindukanmu
Bahkan ketika peluhku bersemai benih cinta yang lain
Juga segenggam mahkota yang selalu memintaku kembali
Hingga mimpi yang teriris pelepah kesalahan

Satu hal, akankah kau mengerti?
Sampai sedalam mana ku terluka



II
Aku kini terjebak di tengah buih pasir
Di ujung karang yang menambah biru perihku
Kau melihatku
Ya, jelas kau melihatku

Dimana janjimu empat belas tahun lalu?
Berjalan dengan mata tertutup, hingga terjatuh dalam kubangan
Satu jejak disesapi dua langkah
Hingga memerah bulan di ujung kepala

Masihkah kau ingat?
Sampai habis desau nafas ini



III
Kuharap kau masih seputih dulu
Tanpa bercak dan jejak lain
Selain aku
Cukup, hanya aku

Aku kini berubah menjadi bayang semu
Yang menurutmu selalu mengikutimu
Padahal sumpah mati aku tidak melakukannya
Apalagi menyiakan waktu untuk itu

Sampai kapan kau di situ?
Hingga terbit matahari lagi?


***

Jakarta, 18 Februari 2008

HATIMU TAK LAGI DI SINI

Ketika kau pergi, yang kurasa hanya tiada. Bahkan hatiku tak juga kehilangan meski sebenarnya aku ingin merasakan itu. Jangan bertanya mengapa aku tidak merasakannya, tapi tanyalah pada dirimu sendiri mengapa aku sampai tidak memikirkanmu sama sekali.

Kenyataan bahwa kau meninggalkanku tanpa alasan adalah salah satunya. Kau membuatku berpikir bahwa itu salahku. Kau tahu, aku sampai berhari-hari membiarkan tubuh ini dimakan rayap. Rapuh. Sampai hampir rebah mencium tanah.

"Maaf..."

"Untuk apa minta maaf?"

"Karena telah membuatmu dimakan rayap."

Begitu ujarmu. Aku pun tersenyum dengan senyum paling sempit seluruh dunia.

"Bukan, aku dimakan rayap bukan karena dirimu, tapi karena pilihanku sendiri."

"..."

Kau diam. Aku sarkastik.



***

Jakarta, 12 Maret 2008

FROM BANDUNG WITH LOVE

Perjalanan seseorang memang tidak bisa dengan mudah diprediksi. Tampaknya hal inilah yang menjadi topik utama yang saya dapat dari film arahan Henry Adianto. From Bandung With Love adalah film drama cinta remaja yang diharapkan akan mengisi kekosongan pada genre tersebut akhir-akhir ini.

Cerita dimulai ketika Vega (Marsha Timothy) memutuskan untuk membahas masalah perselingkuhan dan kesetiaan dalam siaran radionya minggu depan. Dia muncul dengan teori bahwa 11 dari 10 lelaki itu tidak setia. Usaha Vega pun dibawa ke kantor advertising yang mempekerjakan dia sebagai freelance copy writer. Dia mengamati lalu memilih Ryan (Kieran Sidhu), creative director yang terkenal playboy. Vega memanfaatkan waktu seminggu menjelang siaran untuk mendekati Ryan, untuk mencari tau dari sisi lelaki yang katanya ‘tidak setia’. Usaha Vega ini sempat diprotes oleh kekasihnya, Dion (Richard Kevin), yang mempunyai sifat pasif dan ‘pasrah’. Vega menenangkan Dion dan berjanji bahwa misinya akan berhasil dalam enam hari.

Tapi, ternyata memang apapun bisa terjadi dalam enam hari.Vega jatuh cinta pada Ryan karena Ryan memang tahu benar how to treat a woman, sebuah karakter yang berbeda dengan DION, pacar Vega yang sebenarnya. Hingga di satu titik Vega menyadari bahwa dia lah yang tidak setia. Tidak setia dengan misinya, dengan Dion, dengan sahabatnya, bahkan dengan dirinya sendiri. Akhirnya, siapakah yang Vega dapatkan setelah enam hari?

Kesan awal yang saya dapatkan di film ini adalah, terlalu banyaknya sponsor yang built in dan mengganggu mood saya ketika menonton. Seperti di scene awal, tampak Vega yang sedang siaran dengan backgorund sticker nama radio, begitu juga semua pemain yang merokok, menghisap merek rokok yang sama dan semua pemain yang melakukan kegiatan ketik-mengetik menggunakan satu merek komputer/notebook yang sama. Pertanyaannya adalah, is that possible? Karena bisa saja sponsor tersebut tidak divisualisasikan secara hard sell dan memenuhi setiap sequent. Sebenarnya itu tergantung bagaimana men-treat dan deal di awalnya saja, toh?

Alur cerita cukup menarik dan mampu membuat saya intens menonton, hanya saja –selain gangguan built in sponsor- beberapa pemain pendukung terlihat kaku dan saya gemas karenanya. Thus, tampaknya sutradara menginginkan treatment yang berbeda ketika tokoh mengalami konflik psikologis maupun dengan pemain lainnya, kamera dibuat hand held dan dibiarkan long take atau editingnya menggunakan jumpcut. Itu sebenarnya tidak masalah, asalkan ada planting untuk itu dan perubahannya juga tidak serta merta. Efek umum yang penonton rasakan akhirnya hanyalah sebuah ketergangguan, kecil atau besarnya tingkat ketergangguan tersebut memang tergantung pada penonton, tapi alangkah baiknya jika sutradara lebih memperhatikan detailnya.

Overall, From Bandung With Love adalah usaha positif yang juga patut dapat respon positif, meskipun kota Bandung sebagai setting utama tidak terlalu di-expose di sini. [hp]

19/01/08

Dear Reyna

Dear Reyna,

Apa kabarmu di sana? Rindukah kamu padaku? Pada lelaki yang telah menyesap peluhmu dalam-dalam dan memelukmu dalam diam? Ya, aku masih mengingatnya. Masih sangat mengingatnya. Hingga terkadang untuk tidur pun sulit, karena tersiksa dengan kenangan tentangmu.

Hampir sepanjang hari ini, aku tidak melihat matahari. Padahal kau tahu, aku sangat suka dengan matahari. Dia membuatku merasa hidup dan berpeluh ditengah segala kebisingan kota tempatku tinggal. Apa lacur, banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan. Banyak ide yang harus kucurahkan, bahkan terkadang aku memerasnya demi sebuah kata.

Kamu terus mencoba menghubungiku, tapi seringkali aku abaikan. Aku minta maaf. Aku hanya berusaha bersikap adil, dengan dirimu dan dirinya. Kau tahu? Itu berat sekali rasanya. Berat untuk membagi rata hatiku menjadi dua.

Semalam aku bermimpi, mendengar desah suaramu, merasai tubuhmu dan melihat kau berjalan anggun ke arahku. Tapi hanya itu. Setelahnya, aku tidak ingat lagi. Kau mengingatkan aku sekali lagi tentang malam itu, tentang malam dimana sinar rembulan menyusup melalui kegelapan daun-daun lontar dan jatuh tepat di wajahmu yang merona. Bibirmu pun terbasahi embun yang jatuh perlahan dalam hitungan waktu. Hmm... aku rindu padamu... sangat.

***

24 mei 2007