18/04/08

Kartunis

Kartunis itu mati dalam keadaan hidup-hidup, beserta seorang istri dan dua anaknya yang masih kecil. Berita di minggu pagi itu segera menyeruak ke seluruh dunia. Ia memang seorang yang juru gambar dan bukan itu yang menyebabkannya dikenal dunia. Tapi, buah karyanya yang sangat kontroversial beberapa tahun lalulah penyebab awal ia menjadi sorotan publik.

Awalnya sederhana, ia hanya mengejawentahkan apa yang ada di pikirannya mengenai sosok sebuah fenomena alam ke dalam sebuah gambar kartun. Memang agak terkesan mengejek. Bahkan hal itu bertentangan dengan kepercayaan yang telah ada. Ia menganggapnya itu sebuah kebebasan, namun khalayak umum memandangnya sebagai pelecehan. Pelecehan kepercayaan dan kebebasan itu sendiri. Kartunis itu lantas teringat bagaimana Galileo atau Socrates di akhir hidupnya. Sedikit gentar agaknya ia. Namun terlambat, karyanya dimuat di harian ibukota negeri itu. Sudah bisa ditebak, respon negatif muncul di mana-mana. Sekitar tujuh puluh persen penduduk dunia mengecamnya. Gerak kartunis itu kini tak lagi bebas. Ia bahkan membatasi ruang bagi istri dan anaknya untuk berhubungan dengan dunia luar. Apartemen mereka pun disegel, menyusul pembakaran poster dirinya dan bendera negerinya di berbagai belahan dunia. Kartunis itu lantas membawa keluarganya keluar kota, kemudian kembali pindah menuju area perbatasan. Istrinya sakit di tengah jalan, kondisi kedua anaknya pun tak kalah turunnya. Mereka kini menjadi bulan-bulanan di sepanjang jalan, diludahi dan dilempari tahi. Hanya gara-gara sebuah gambar kartun.

Pelarian mereka akhirnya terhenti di sebuah persimpangan negeri. Kabarnya, di desa kecil tersebut kebebasan sangat diagungkan. Kartunis itu mempercayai hal tersebut, terlebih ketika melihat beberapa anak muda berlarian telanjang menuju sebuah ayunan di bawah pohon besar, seorang paruh baya yang menempel simbol keagamaan secara terbalik di depan rumahnya, juga anak kecil yang memasukkan kemaluannya ke seorang pelacur. Maka, kartunis itu membangun rumah di sana, di atas sepetak tanah sewaan. Keluarganya pun berangsur-angsur membaik. Istrinya kini bahkan memberi semangat pada si kartunis untuk membuat gambar-gambar kontroversial. Walau awalnya takut karena masih trauma, tapi perlahan ia membuat gambar lagi. Kali ini, idenya lebih gila, ia menggambar tuhan dengan cara yang sangat ekstrim, berpelukan dengan pelacur. Gambar itu lantas dipajang di depan rumahnya. Ia tidak puas. Kartunis itu ingin agar karyanya dipublikasikan ke seluruh dunia. Beberapa orang di desa itupun mendukungnya.

Sampailah karya itu di media internet. Kini, tidak hanya ia dan keluarganya yang terancam, tapi bahkan seluruh penghuni desa. Beberapa orang yang panas dengan gambar tersebut memburu sang kartunis, begitu juga dengan kelompok yang dulu sempat ingin menghabisinya. Kekuatan lawan sang kartunis meningkat pesat. Maka ia kembali diburu. Seisi desa melarikan diri begitu mendengar hal tersebut. Akhirnya, semuanya berakhir ketika rumah sang kartunis terbakar dalam hujan. Jeritan dan raungan kesakitan terdengar dari dalam rumah tersebut. Bukan, bukan siapa-siapa yang membakar rumah itu, bahkan kejadian itu begitu cepat sebelum para pemburu tiba.



***
Jakarta, 18 April 2008

Tidak ada komentar: