“If life's standing still and your soul's confused
And you cannot find what road to choose”
(At Your Side – The Corrs)
Aku termenung di dalam busway. Kendaraan yang dijadikan kebanggaan ibukota, apalagi oleh Bang Yos disebut-sebut sebagai angkutan yang paling nyaman dan aman. Tapi sekarang, aku berdiri dan berkeringat, walau angin AC berhembus cukup kencang ke arah wajahku. Bahkan saat aku masuk tadi, sempat didorong-dorong kasar oleh ‘satpam’ yang ada di pintu masuk busway. Huh!
Pikiranku sekarang melayang, aku sudah tidak mempedulikan masalah busway lagi. Aku menghela nafas panjang dan mataku menerawang keluar jendela. Aku selalu merasa seperti ini. Begitu pedih ketika semua ini terjadi. Ini sudah yang kesekian kalinya. Aku bosan, aku jenuh. Kenapa harus ada cinta? Kenapa harus ada makhluk yang bernama wanita? Kalau kenyataannya kesemuanya itu hanya akan mengecewakanku, membunuhku perlahan-lahan.
Sejak sore itu perasaanku tidak enak, seolah ada yang menarik-narik lenganku untuk segera beranjak menuju gagang telepon. Vika, gadisku itu, tampaknya belum pulang dari rumah temannya di daerah Kuningan, sementara rumahnya di Palmerah. Pukul sepuluh malam dan aku masih saja dirundung rasa gelisah. Tiga puluh menit kemudian, aku benar-benar tidak dapat menguasai inginku untuk meneleponnya.
“Halo?”
“Kamu ada dimana, Sayang?”
“Ng.. anu, masih di rumah temen.”
“Ini udah jam berapa? Kamu besok kuliah, kan?”
“Iya, aku tau. Lagian jalan di Pramuka macet banget, nih.”
“Lho, ngapain ke Pramuka? Katanya ke Kuningan. Kamu di rumah temen apa di jalan, sih?”
“.....”
Tuut-tuut-tuut. Telepon selularnya mati, atau sengaja dimatikan? Lalu, kucoba sekali lagi.
“Kenapa dimatiin?”
“I..iya, sorry, tadi nggak ada sinyal.”
“Oooh... Kamu dah makan malam?”
“Udah.”
“Sampe rumah jam berapa?”
“Wah, aku nggak tau, deh. Udah dulu, ya.”
Telepon kembali mati. Aku termangu, dengan gagang telepon yang masih menempel di telingaku.
Mungkin aku possesif. Mungkin juga aku over protective.
So, what? Aku hanya ingin memastikan kekasihku itu dalam keadaan baik-baik saja. Mengingatkannya akan waktu yang berjalan semakin tak kenal ampun, sebelum terlambat segala sesuatunya. Terserah orang mau bilang aku apa, tetapi aku adalah aku, dengan segala pernak-pernik yang menyenangkan maupun menyebalkan ini.
Malam ini, aku mendengarkan sebuah siaran radio. Penyiarnya mengangkat tema tentang kebohongan terbesar yang pernah dilakukan pendengarnya. Aku tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala ketika penyiar tersebut membacakan SMS dari para pendengarnya yang rata-rata jujur. Memang begitulah kita seharusnya, jujur.
Ada yang membuat pengakuan semasa sekolahnya sering memakai uang sekolah untuk pacaran atau senang-senang, ada yang mengaku telah menjadi penyebab gurunya meninggal dunia lantaran menaruh racun tikus di makan siangnya, ada yang mengaku menjadi provokator saat kerusuhan tahun 1998 lalu, ada yang secara gamblang mengatakan bahwa ia membenci ayah tirinya dan akan membunuhnya, dan sebagainya dan sebagainya lagi.
Tapi, diantara semuanya yang menggelikan itu, ada satu pengakuan seorang gadis bahwa ia telah mengkhianati pacarnya dan selama ini ia berhubungan dengan lelaki lain yang tak lain adalah mantannya. Peluk dan cium hanya untuk memuaskan libidonya. Keterlaluan. Darahku mulai mendidih, entah kenapa. Karena tertarik, maka si penyiar memberi ‘kesempatan’ on air pengirim SMS itu.
Dahiku berkerut. Otakku berpikir cepat, mencari memori yang pernah tertanam. Suaranya tidak asing. Itu adalah... Vika. Lalu siapa pula yang dimaksudnya? Siapa lagi kalau bukan aku.
Begitulah, aku tidak terlalu histeria atau menjadi hiperbolis atas keadaan ini. Cukup tahu saja. Hal ini bukan kenyataan baru bagiku. Memang, aku tidak memiliki hal lebih yang bisa memikat perempuan. Aku tidak mahir dalam merayu, aku tidak pandai dalam meraih simpati orangtua mereka dan aku juga tidak punya materi untuk membuat para gadis itu mampu bertahan lebih lama. Aku ini makhluk masa lampau, berpola pikir kuno dan menganggap modernitas seolah merupakan penjara intuisi serta realitas. Aku bukan pencinta kelas kakap yang mampu membuat jaring nelayan terkoyak seketika.
Kekasihku sebelumnya, Juksi, meninggalkanku begitu saja setelah mengetahui bahwa aku hanyalah anak seorang tukang kuli bangunan. Dia berpendapat, apa yang bisa diperbuat dari anak seorang rendahan seperti aku? Ditambah lagi dengan kuliahku yang hanya mengecap satu semester. Apalagi kalau bukan perkara uang? Benar memang, tidak ada harapan.
Kekasihku yang sebelumnya lagi, Mirah, pergi begitu saja dengan lelaki lain. Aku tidak tahu mengapa. Belakangan, salah seorang temannya memberitahuku bahwa ia sudah menikah, married by accident. Aku akui, memang selama pacaran libidonya terlalu tinggi dan sering membuat aku kewalahan. Aku tidak sanggup melayaninya untuk bercinta terus, terus dan terus.
Kekasihku yang lain, Nila, juga meninggalkanku setelah mengetahui tidak ada uang lagi yang bisa diperas dariku. Ia selalu menuntut untuk makan di restoran atau minimal fast food, ia tidak sudi menemuiku jika aku tidak menjemputnya di sekolah dengan motor. Sementara, motor itu sebenarnya adalah milik temanku dan aku meminjamnya dengan imbalan makan bakso setiap kali peminjaman. Wah, mana sanggup aku jika terus seperti itu! Nampaknya selama rentang waktu satu bulan kami pacaran, ia belum tahu kalau aku ini kere. Setelah tahu, baru ia ambil langkah seribu.
Deriyani. Kekasihku yang satu itu sungguh penuh kejutan, hampir satu tahun aku pacaran dengannya. Ia menarik, pengertian, jujur, pokoknya segala yang baik-baiklah. Aku menemukan diriku sendiri di dalmnya. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang aneh ketika aku dekat berdua dengannya, entah apa itu. Suatu ketika, pengakuannya membuat aku tersentak dan terhenyak, seakan ada ribuan ton yang meninju sekujur tubuhku. Ia waria. Nama aslinya sebetulnya cukup Deri saja, kemudian ditambah embel-embel “Yani” setelah ia operasi kelamin di Bangkok.
Cinta, deritanya tiada akhir. Agaknya, ada benarnya juga ungkapan Cina tersebut. Tetapi, siapa lagi yang percaya cinta? Ribuan puisi cinta tercipta, namun siapa yang mengetahui apa yang ada di dalam pikiran si pujangga? Adakah makna tersurat melawan maksud tersirat di dalamnya? Jutaan lagu cinta singgah di telinga orang-orang yang kasmaran, namun siapa yang mengetahui apa sebab-akibat yang akan ditimbulkannya? Karya-karya cinta pun terlahir, tetapi siapa yang tahu itu adalah cinta kalau hanya sebatas kedipan mata? Ucapan-ucapan cinta pun keluar dari mulut-mulut orang yang sesumbar dan sok tahu tentang perasaan hatinya. Itukah cinta?
Terpuruk aku di sini, tenggelam dalam kenangan dan mimpi buruk sesuatu yang bernama cinta tersebut. Dalam temaramnya bohlam lima watt di kamar, ku lihat wajah-wajah para kekasihku yang melintas dan berputar-putar cepat. Mereka saling menabrak satu sama lain, kemudian hancur. Haha... aku puas.
* * *
Pagi menjelang, sinar mataharinya menyolok-nyolok pedih mataku. Masih adakah cinta buatku? Ah, sudahlah. Lebik baik aku segera siap-siap berangkat kerja.
Sepanjang perjalanan dengan busway, aku hanya memandangi pemandangan luar jendela. Macet dan kisruh, khas kota metropolitan. Umurku yang sudah mencapai tiga puluh empat, membuatku menjadi ejekan teman-teman juga keluarga. Mereka menuntut kapan aku akan mempunyai hubungan yang serius. Aku hanya menjawab, belum ada yang sreg di hati.
“Ah, kamu terlalu pilih-pilih, sih.”
“Makanya dandan dong, biar rapi dikit.”
“Eh, gue punya sisaan parfum tuh. Soalnya, gue baru dibeliin parfum lain ama cewek gue.”
“Kang, sisir sayah dipake ajah. Tidak usah malu-malu, siapa tahu nanti ada yang melirik.”
“Nih, gua kasih buku ‘seribu satu cara ngerayu wanita’.”
Masih banyak lagi saran-saran dari berbagai pihak yang bertujuan satu, aku mendapatkan perempuan yang aku inginkan. Tapi, apa iya ada perempuan yang seperti inginku? Aku ingin perempuan yang setia, jujur, suka humor, rambut panjang, sabar, pengertian, manis sikap maupun perilakunya, sederhana, suka sastra, bisa masak, bisa... Yah, memang inginku terlalu banyak. Tidak mungkin ada yang sesempurna itu, kecuali mungkin Deriyani. Tapi sayangnya, dia bukan perempuan.
Aku selalu kesepian, walaupun ditengah keramaian sekalipun. Begitu banyak waktu yang terlewat, hanya untuk meratapi kesendirianku. Saat aku bersama salah satu dari mereka pun, kekasihku itu, aku selalu merasakan banyak hal yang kurang dan hambar. Apa, sih, mauku?
Aku sama sekali tidak iri dengan teman-teman sebayaku yang sudah menikah atau bahkan yang sudah mempunyai beberapa anak. Aku melihat mereka bahagia ketika membicarakan maslah perkawinan, kelahiran istri atau perkembangan anak mereka. Aku sering berpikir, bagaimana mereka bisa bertahan dengan satu perempuan selama ini? Apakah mereka tidak merasa bosan? Apakah mereka pikir itu adalah benar-benar belahan jiwanya? Lantas, bagaimana jika ternyata bukan? Ah, pikiranku mulai meracau pagi ini.
Kalau memikirkan masalah cinta memang tidak ada habisnya. Aku tidak heran ketika mendapati kenyataan perempuan-perempuan itu meninggalkanku. Toh, aku memang tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan.
Bus yang ku tumpangi memasuki kawasan macet di bilangan Jalan Sudirman. Lelaki yang duduk di sebelahku berdiri, tak lama kemudian duduklah seorang perempuan. Awalnya aku tidak mempedulikannya dan memandang kembali ke arah luar jendela. Tapi, secara refleks aku segera menyadari ada sebuah senyuman darinya yang tertuju untukku. Dan aku pun menoleh ke arah gadis itu.
Cantik.
Ia kemudian berpaling lagi ke arahku dan tersenyum. Senyum yang selalu ada dalam mimpiku. Aku membalas senyumnya. Ia tampak gugup. Aku lebih dari itu. Ia kemudian menghadap lurus ke depan, lalu ke bawah, lalu membuka file foldernya dan mengambil sehelai kertas, lalu diam. Aneh.
Aku masih memperhatikannya dalam hening. Melihat senyumnya yang seolah masih terkembang. Mengamati gestur dan ekspresinya. Memperhatikan setiap gerakan-gerakan kecil yang tercipta. Mengagumi kecantikannya.
Apakah masih ada cinta untukku? Kini ku yakin masih ada.
***
Jakarta, 20 April 2005