30/11/07

Perjalanan Pulang


“If life's standing still and your soul's confused
And you cannot find what road to choose”

(At Your Side – The Corrs)

Aku termenung di dalam busway. Kendaraan yang dijadikan kebanggaan ibukota, apalagi oleh Bang Yos disebut-sebut sebagai angkutan yang paling nyaman dan aman. Tapi sekarang, aku berdiri dan berkeringat, walau angin AC berhembus cukup kencang ke arah wajahku. Bahkan saat aku masuk tadi, sempat didorong-dorong kasar oleh ‘satpam’ yang ada di pintu masuk busway. Huh!

Pikiranku sekarang melayang, aku sudah tidak mempedulikan masalah busway lagi. Aku menghela nafas panjang dan mataku menerawang keluar jendela. Aku selalu merasa seperti ini. Begitu pedih ketika semua ini terjadi. Ini sudah yang kesekian kalinya. Aku bosan, aku jenuh. Kenapa harus ada cinta? Kenapa harus ada makhluk yang bernama wanita? Kalau kenyataannya kesemuanya itu hanya akan mengecewakanku, membunuhku perlahan-lahan.

Sejak sore itu perasaanku tidak enak, seolah ada yang menarik-narik lenganku untuk segera beranjak menuju gagang telepon. Vika, gadisku itu, tampaknya belum pulang dari rumah temannya di daerah Kuningan, sementara rumahnya di Palmerah. Pukul sepuluh malam dan aku masih saja dirundung rasa gelisah. Tiga puluh menit kemudian, aku benar-benar tidak dapat menguasai inginku untuk meneleponnya.

“Halo?”

“Kamu ada dimana, Sayang?”

“Ng.. anu, masih di rumah temen.”

“Ini udah jam berapa? Kamu besok kuliah, kan?”

“Iya, aku tau. Lagian jalan di Pramuka macet banget, nih.”

“Lho, ngapain ke Pramuka? Katanya ke Kuningan. Kamu di rumah temen apa di jalan, sih?”

“.....”

Tuut-tuut-tuut. Telepon selularnya mati, atau sengaja dimatikan? Lalu, kucoba sekali lagi.

“Kenapa dimatiin?”

“I..iya, sorry, tadi nggak ada sinyal.”

“Oooh... Kamu dah makan malam?”

“Udah.”

“Sampe rumah jam berapa?”

“Wah, aku nggak tau, deh. Udah dulu, ya.”

Telepon kembali mati. Aku termangu, dengan gagang telepon yang masih menempel di telingaku.

Mungkin aku possesif. Mungkin juga aku over protective.

So, what? Aku hanya ingin memastikan kekasihku itu dalam keadaan baik-baik saja. Mengingatkannya akan waktu yang berjalan semakin tak kenal ampun, sebelum terlambat segala sesuatunya. Terserah orang mau bilang aku apa, tetapi aku adalah aku, dengan segala pernak-pernik yang menyenangkan maupun menyebalkan ini.

Malam ini, aku mendengarkan sebuah siaran radio. Penyiarnya mengangkat tema tentang kebohongan terbesar yang pernah dilakukan pendengarnya. Aku tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala ketika penyiar tersebut membacakan SMS dari para pendengarnya yang rata-rata jujur. Memang begitulah kita seharusnya, jujur.

Ada yang membuat pengakuan semasa sekolahnya sering memakai uang sekolah untuk pacaran atau senang-senang, ada yang mengaku telah menjadi penyebab gurunya meninggal dunia lantaran menaruh racun tikus di makan siangnya, ada yang mengaku menjadi provokator saat kerusuhan tahun 1998 lalu, ada yang secara gamblang mengatakan bahwa ia membenci ayah tirinya dan akan membunuhnya, dan sebagainya dan sebagainya lagi.

Tapi, diantara semuanya yang menggelikan itu, ada satu pengakuan seorang gadis bahwa ia telah mengkhianati pacarnya dan selama ini ia berhubungan dengan lelaki lain yang tak lain adalah mantannya. Peluk dan cium hanya untuk memuaskan libidonya. Keterlaluan. Darahku mulai mendidih, entah kenapa. Karena tertarik, maka si penyiar memberi ‘kesempatan’ on air pengirim SMS itu.

Dahiku berkerut. Otakku berpikir cepat, mencari memori yang pernah tertanam. Suaranya tidak asing. Itu adalah... Vika. Lalu siapa pula yang dimaksudnya? Siapa lagi kalau bukan aku.

Begitulah, aku tidak terlalu histeria atau menjadi hiperbolis atas keadaan ini. Cukup tahu saja. Hal ini bukan kenyataan baru bagiku. Memang, aku tidak memiliki hal lebih yang bisa memikat perempuan. Aku tidak mahir dalam merayu, aku tidak pandai dalam meraih simpati orangtua mereka dan aku juga tidak punya materi untuk membuat para gadis itu mampu bertahan lebih lama. Aku ini makhluk masa lampau, berpola pikir kuno dan menganggap modernitas seolah merupakan penjara intuisi serta realitas. Aku bukan pencinta kelas kakap yang mampu membuat jaring nelayan terkoyak seketika.

Kekasihku sebelumnya, Juksi, meninggalkanku begitu saja setelah mengetahui bahwa aku hanyalah anak seorang tukang kuli bangunan. Dia berpendapat, apa yang bisa diperbuat dari anak seorang rendahan seperti aku? Ditambah lagi dengan kuliahku yang hanya mengecap satu semester. Apalagi kalau bukan perkara uang? Benar memang, tidak ada harapan.

Kekasihku yang sebelumnya lagi, Mirah, pergi begitu saja dengan lelaki lain. Aku tidak tahu mengapa. Belakangan, salah seorang temannya memberitahuku bahwa ia sudah menikah, married by accident. Aku akui, memang selama pacaran libidonya terlalu tinggi dan sering membuat aku kewalahan. Aku tidak sanggup melayaninya untuk bercinta terus, terus dan terus.

Kekasihku yang lain, Nila, juga meninggalkanku setelah mengetahui tidak ada uang lagi yang bisa diperas dariku. Ia selalu menuntut untuk makan di restoran atau minimal fast food, ia tidak sudi menemuiku jika aku tidak menjemputnya di sekolah dengan motor. Sementara, motor itu sebenarnya adalah milik temanku dan aku meminjamnya dengan imbalan makan bakso setiap kali peminjaman. Wah, mana sanggup aku jika terus seperti itu! Nampaknya selama rentang waktu satu bulan kami pacaran, ia belum tahu kalau aku ini kere. Setelah tahu, baru ia ambil langkah seribu.

Deriyani. Kekasihku yang satu itu sungguh penuh kejutan, hampir satu tahun aku pacaran dengannya. Ia menarik, pengertian, jujur, pokoknya segala yang baik-baiklah. Aku menemukan diriku sendiri di dalmnya. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang aneh ketika aku dekat berdua dengannya, entah apa itu. Suatu ketika, pengakuannya membuat aku tersentak dan terhenyak, seakan ada ribuan ton yang meninju sekujur tubuhku. Ia waria. Nama aslinya sebetulnya cukup Deri saja, kemudian ditambah embel-embel “Yani” setelah ia operasi kelamin di Bangkok.

Cinta, deritanya tiada akhir. Agaknya, ada benarnya juga ungkapan Cina tersebut. Tetapi, siapa lagi yang percaya cinta? Ribuan puisi cinta tercipta, namun siapa yang mengetahui apa yang ada di dalam pikiran si pujangga? Adakah makna tersurat melawan maksud tersirat di dalamnya? Jutaan lagu cinta singgah di telinga orang-orang yang kasmaran, namun siapa yang mengetahui apa sebab-akibat yang akan ditimbulkannya? Karya-karya cinta pun terlahir, tetapi siapa yang tahu itu adalah cinta kalau hanya sebatas kedipan mata? Ucapan-ucapan cinta pun keluar dari mulut-mulut orang yang sesumbar dan sok tahu tentang perasaan hatinya. Itukah cinta?

Terpuruk aku di sini, tenggelam dalam kenangan dan mimpi buruk sesuatu yang bernama cinta tersebut. Dalam temaramnya bohlam lima watt di kamar, ku lihat wajah-wajah para kekasihku yang melintas dan berputar-putar cepat. Mereka saling menabrak satu sama lain, kemudian hancur. Haha... aku puas.

* * *

Pagi menjelang, sinar mataharinya menyolok-nyolok pedih mataku. Masih adakah cinta buatku? Ah, sudahlah. Lebik baik aku segera siap-siap berangkat kerja.

Sepanjang perjalanan dengan busway, aku hanya memandangi pemandangan luar jendela. Macet dan kisruh, khas kota metropolitan. Umurku yang sudah mencapai tiga puluh empat, membuatku menjadi ejekan teman-teman juga keluarga. Mereka menuntut kapan aku akan mempunyai hubungan yang serius. Aku hanya menjawab, belum ada yang sreg di hati.

“Ah, kamu terlalu pilih-pilih, sih.”

“Makanya dandan dong, biar rapi dikit.”

“Eh, gue punya sisaan parfum tuh. Soalnya, gue baru dibeliin parfum lain ama cewek gue.”

“Kang, sisir sayah dipake ajah. Tidak usah malu-malu, siapa tahu nanti ada yang melirik.”

“Nih, gua kasih buku ‘seribu satu cara ngerayu wanita’.”

Masih banyak lagi saran-saran dari berbagai pihak yang bertujuan satu, aku mendapatkan perempuan yang aku inginkan. Tapi, apa iya ada perempuan yang seperti inginku? Aku ingin perempuan yang setia, jujur, suka humor, rambut panjang, sabar, pengertian, manis sikap maupun perilakunya, sederhana, suka sastra, bisa masak, bisa... Yah, memang inginku terlalu banyak. Tidak mungkin ada yang sesempurna itu, kecuali mungkin Deriyani. Tapi sayangnya, dia bukan perempuan.

Aku selalu kesepian, walaupun ditengah keramaian sekalipun. Begitu banyak waktu yang terlewat, hanya untuk meratapi kesendirianku. Saat aku bersama salah satu dari mereka pun, kekasihku itu, aku selalu merasakan banyak hal yang kurang dan hambar. Apa, sih, mauku?

Aku sama sekali tidak iri dengan teman-teman sebayaku yang sudah menikah atau bahkan yang sudah mempunyai beberapa anak. Aku melihat mereka bahagia ketika membicarakan maslah perkawinan, kelahiran istri atau perkembangan anak mereka. Aku sering berpikir, bagaimana mereka bisa bertahan dengan satu perempuan selama ini? Apakah mereka tidak merasa bosan? Apakah mereka pikir itu adalah benar-benar belahan jiwanya? Lantas, bagaimana jika ternyata bukan? Ah, pikiranku mulai meracau pagi ini.

Kalau memikirkan masalah cinta memang tidak ada habisnya. Aku tidak heran ketika mendapati kenyataan perempuan-perempuan itu meninggalkanku. Toh, aku memang tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan.

Bus yang ku tumpangi memasuki kawasan macet di bilangan Jalan Sudirman. Lelaki yang duduk di sebelahku berdiri, tak lama kemudian duduklah seorang perempuan. Awalnya aku tidak mempedulikannya dan memandang kembali ke arah luar jendela. Tapi, secara refleks aku segera menyadari ada sebuah senyuman darinya yang tertuju untukku. Dan aku pun menoleh ke arah gadis itu.

Cantik.

Ia kemudian berpaling lagi ke arahku dan tersenyum. Senyum yang selalu ada dalam mimpiku. Aku membalas senyumnya. Ia tampak gugup. Aku lebih dari itu. Ia kemudian menghadap lurus ke depan, lalu ke bawah, lalu membuka file foldernya dan mengambil sehelai kertas, lalu diam. Aneh.

Aku masih memperhatikannya dalam hening. Melihat senyumnya yang seolah masih terkembang. Mengamati gestur dan ekspresinya. Memperhatikan setiap gerakan-gerakan kecil yang tercipta. Mengagumi kecantikannya.

Apakah masih ada cinta untukku? Kini ku yakin masih ada.

***

Jakarta, 20 April 2005

Surat Pertama Tentang Kerinduan


Rasanya aneh memang, jika aku dengan mudah begitu saja melupakanmu, melupakan orang yang pernah membuat hidupku terasa berwarna. Walaupun aku telah mencoba banyak cara untuk mengalihkan pikiranku terhadapmu, tetapi tetap saja selalu dirimu yang ada di hadapanku, tersenyum lirih menatap kepergianku.

Vebrika, aku akhirnya menulis surat untukmu setelah kepergianku setahun yang lalu. Kau tahu, waktu selalu begitu cepat berlalu dan membawa kabur segala kenangan yang tak mampu terserap rasa. Maaf, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu yang menyuruhku berhenti minum kopi dan soda. Penyebab penyakit jantung dan hati, katamu. Tapi seperti yang kau tahu, aku selalu tidak pernah mempercayai segala sesuatu yang berhubungan dengan ramalan atau perkiraan, walau yang mengatakannya seorang dokter atau orang pintar sekalipun.

Terakhir kudengar perihal tentang dirimu melalui teman kita, Jonru. Ia mengatakan bahwa kau baru saja ditinggalkan oleh tunanganmu, Yufo, yang katanya anak kota itu. Aku pernah sekali bertemu dengannya, dulu sebelum ia mengambil alih semua peranku, ia dengan bangga dan agak sedikit “tinggi” mengatakan kalau ia bekerja sebagai pilot di salah satu perusahaan penerbangan internasional. Keluar masuk negeri dan singgah di setiap perhentian yang menurutnya sangat menyenangkan, belum lagi dengan waktu yang dihabiskan selama persinggahan untuk belanja barang-barang dan tetek bengek serba luar negeri yang menurutnya lebih berkualitas. Tapi tentunya kau juga tahu, aku sangat tidak menyukai orang-orang bermulut besar seperti itu. Untung aku hanya menemuinya sekali saja, saat aku bertandang ke rumahmu di akhir pekan sebelum aku pergi. Kalau aku kembali melihatnya, tentu akan aku jahit mulutnya yang pintar bicara itu.

Tapi, kenapa akhirnya ia pergi meninggalkanmu? Bukankah waktu itu kau mengatakan bahwa memilihnya jauh lebih masuk akal daripada tetap denganku? Bukankah kau juga yang mengatakan bahwa pilihanmu kali itu sangat disetujui banyak pihak? Memang kenyataannya seperti itu bukan, aku tetaplah aku, dengan segala kekurangan yang hampir menutupi sedikit kelebihan yang ku punya. Aku sangat menyetujui keputusanmu saat itu, terlebih lagi kalian memang cocok dan kuharap dapat terus mencintai satu sama lain. Lantas kenapa ia pergi di saat kalian sudah bertunangan? Oh... aku tahu, mungkin jiwa terbangnya sebagai pilot tidak dapat terbendung lagi. Tenang saja, jika memang jodoh ia pasti akan kembali. Seperti kata pepatah, setinggi-tingginya bangau terbang, toh ia akan kembali ke sarangnya lagi.

Bagaimana kabar ayah dan ibumu? Masihkah rumah makan mereka laku keras seperti biasanya? Pastinya demikian, karena masakan mereka yang paling enak se-dunia. Aku tidak membual, buktinya hampir setiap hari aku makan di rumah makan mereka sewaktu masih di kota itu dan rasanya sungguh nikmat, apalagi ditambah dengan seorang gadis manis anak si pemilik rumah makan yang terus menatapku saat makan.

Lalu kabar Valerina, adikmu? Ia gadis kecil yang paling cerewet yang pernah aku temui. Seringkali ketika aku menanyakan kabarmu, dengan cerianya ia malah meminta sebatang cokelat sebagai imbalan atas jawaban yang akan ia berikan. Kau tahu akibatnya kalau aku tidak membawa cokelat, ia pasti akan minta aku menceritakan dongeng-dongeng dunia sebanyak yang aku tahu.

Beberapa bulan setelah perpisahan kita, aku sempat menuliskan lagu untukmu dan aku selalu menyanyikannya setiap malam sebelum aku tertidur, berharap malaikat mendengarnya dan menyampaikannya untukmu.

14021987

“Masih ingatkah kau tentangku, juga tentang hari kemarin saat bersama

Mencoba mencari makna, mengais semua arti tentang cinta

Berdua kita melangkah perlahan meniti arah dalam rimba

Sepenggal kisah pun terukir, kenangan pun tercipta tentang kita

Waktu yang berlalu cepat, seiring dan seirama dengan rasa

Pudarkan semua asa, larutkan segenap cerita retakkan jiwa

Entah siapa yang salah atau hanyalah keadaan yang tak tepat

Kita pun harus berpisah ikuti rencana waktu tanpa bisa membantah

Hanya dirimu yang masih melingkari hariku

Tanpa pernah bisa aku ingkari

Hanya lembutmu yang masih terasa

Usap hatiku, belai sifatku

Kau memang begitu indah, bahkan mungkin terlalu indah dalam kata

Tak sedikitpun darimu yang mampu buatku lelah dan kecewa

Sampai tiba akhir waktuku, ku tak ingin kau bersedih atas semua

Hingga nanti di suatu saat ku ‘kan datang bawa segenggam bintang ‘tuk cerahkan malammu”


Begitulah, mungkin terkesan picisan dan kampungan. Judulnya pun kuambil dari tanggal, bulan dan tahun kelahiranmu, bukan karena untuk gaya atau mengambil kesan misterius, tetapi karena aku sendiri bingung dalam memilih judul yang tepat. Kenyataannya, banyak juga yang menyukai lagu itu setiap kali aku menyanyikannya.

Saat ini aku sedang berada di sebuah kota yang cukup dingin, sampai-sampai aku mengenakan lima pakaian sekaligus untuk menghalau hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang sumsum. Kau masih ingat bukan, kalau aku benci sekali dengan dingin, bahkan kipas anginpun aku tidak suka. Ingin rasanya aku genggam bara api sebanyak mungkin untuk menghangatkan tubuhku, tapi ternyata cukup dengan mengenangmu aku juga bisa merasa hangat dan nyaman.

Aku baru dua minggu di kota ini dan merasa bahwa aku akan lama singgah di sini. Seperti pengembara pada umumnya, mencari pekerjaan sementara sebagai apapun lalu meninggalkannya ketika mulai terasa bosan. Tapi kali ini beda, aku bekerja di sebuah pabrik rokok dan aku menikmati aromanya. Agak aneh memang untuk seorang yang bukan perokok sepertiku dan memang aku benci dengan tembakau, tapi sekali lagi ini sungguh berbeda. Aku memang tidak tertarik untuk merokok, namun aku kini suka harumnya. Bukan pabrik besar, pekerja yang ramah, atau udara dingin yang membuatku merasa enggan meninggalkan ini semua begitu saja, namun ada sesuatu yang aku sendiri tidak tahu dan itu terus membuatku tinggal.

Di hari pertama aku tiba, aku mendapat semacam peringatan dari seseorang yang tidak aku kenal. Dia berkata bahwa kota ini akan segera mendapat suatu hal yang tidak dapat dilupakan oleh orang yang tinggal di dalamnya. Saat mengatakan itu, kedua matanya menyorot tajam ke dalam mataku dan setelah itu ia pergi menghilang di tikungan pertama. Aku tidak suka memikirkan hal-hal yang berbau ramalan seperti itu, tetapi entah mengapa aku kemudian berniat menanti apa yang dikatakannya.

Empat hari yang lalu, terjadi peristiwa menghebohkan di kota ini. Senja datang lebih cepat dan setelah itu matahari tergelincir perlahan sekali. Entah memang demikian atau hanya ilusiku saja, tetapi peristiwa itu memanglah nyata bagiku. Langit berubah menjadi merah keemasan, menyisakan warna-warna sunyi di setiap materi sejauh mata memandang. Semua orang terpana, terkesima dan takjub atas peristiwa itu, tapi juga sekaligus gelisah dan khawatir atas apa yang kemudian akan terjadi. Entah berapa jam senja itu tertambat, diakhiri dengan segaris jingga kebiruan di cakrawala dan semua berangsur menjadi gelap.

Mengapa masih saja ada peristiwa alam yang tidak kita mengerti? Bukankah pengetahuan dan teknologi sudah begitu maju? Kloning dan berbagai usaha manusia untuk bisa mewujudkan segalanya telah tampak gamblang di mana-mana, tetapi rupanya ada beberapa hal yang tetap tak bisa tersentuh oleh akal dan itu masih akan tetap menjadi misteri.

Ah, aku terlalu banyak berkisah. Mungkin saja kau tidak percaya dengan semua hal yang aku tulis ini, tetapi aku telah menceritakan yang memang aku ketahui. Ku harap kau tidak bosan atau mengantuk jika membaca ini semua, karena ini adalah surat pertama dari rangkaian kisah-kisah yang sedang dan akan aku alami selanjutnya yang aku sendiri tidak tahu sampai kapan. Hanya padamu aku bisa dengan tenang dan nyaman bercerita, mungkin karena kesabaran dan senyummu yang tidak dapat aku ingkari keindahannya.

Kau tahu, setelah peristiwa “senja tertambat” itu semua orang seolah menunggu, termasuk juga aku. Sebagian ada yang berkata bahwa itu adalah pertanda buruk, walaupun sebagian lagi mengatakan akan datang suatu keajaiban yang akan menyelamatkan negeri ini. Aku sendiri tidak berani memihak pada salah satu dari mereka, karena aku takut kecewa jika menaruh harapan pada sesuatu yang tidak pasti.

Untuk sebuah misteri itulah aku tetap berada di kota ini. Baru dua minggu, pikirku, dan masih akan membutuhkan kesabaran dalam penungguan yang tidak terbatas ini. Mungkin saja benar akan terjadi bencana atau sesuatu yang benar-benar buruk dan akan menamatkan riwayat semua, tetapi mungkin juga akan datang suatu kebaikan atau perubahan yang akan membawa angin segar ke dalam tiap-tiap hati.

Rasanya cukup sekian untuk kali ini, karena aku juga harus beranjak tidur untuk bisa terjaga esok pagi dan kembali mencium aroma harum tembakau di sepanjang hariku. Aku harap kau masih terus di sana dengan kenyataan yang harus terus dijalani dengan tenang.

Jika saja aku masih diberi kesempatan untuk dapat melihatmu lagi, aku akan mengecup kelopak matamu dan memberikan setangkai anggrek bulan merah jambu seperti janjiku di awal mimpi.


***

Jakarta, 19 Januari 2005

29/11/07

Cerita Cinta Sederhana


Puji terdiam lesu. Ia terduduk sendiri di teras rumah menatap kosong pagi yang menyapa hari. Di hadapannya, di sebuah meja kecil, terhidang teh tubruk dalam gelas besar yang belum tersentuh. Supriyadi, suaminya, belum juga pulang sejak kemarin. Puji berpikir mungkin memang dirinyalah yang salah, sehingga tak ayal membuat suami tercinta begitu marah. Bahkan, mungkin saja malah membenci dirinya.

Supriyadi yang bekerja sebagai supir truk pengangkut hasil bumi ke kota itu, senantiasa memberikan kasih sayang yang tulus, juga memenuhi hampir setiap kebutuhan rumah tangga mereka yang hampir menyentuh usia tujuh tahun. Berangkat dini hari dan pulang setelah lewat waktu dzuhur, demi butir-butir nasi pembentuk raga dan cinta untuk jiwa. Ia lelaki yang baik dan pengertian.

Semasa pacaran dulu, ia juga tidak neko-neko, tidak seperti gaya pacaran teman-temannya yang rasanya sudah kelewat batas. Pernah sekali Supriyadi mengecup kening Puji ketika mereka pulang larut dari sebuah pasar malam, itupun hanya sesaat. Begitu singkatnya hingga terasa seperti kilatan kerling cahaya yang menyisakan rindu. Selebihnya, rentang waktu dua setengah tahun pacaran dihiasi oleh kejutan-kejutan kecil berupa rangkaian puisi dalam lembar-lembar kertas menguning yang menambah rasa cinta dan kekaguman satu sama lain. Mereka memang suka sastra, khususnya puisi. Jalaluddin Rumi adalah satu yang mereka puja.

Tapi, bukan berarti masa pacaran mereka adem ayem laksana semilir angin yang membelai senja di Pantai Parangtritis, tempat sejuta peristiwa yang menjadi saksi bisu kisah dua pencinta itu, pertengkaran-pertangkaran kecil pun menjadi bumbu pelengkap masakan cinta mereka. Pertengkaran yang buntut-buntutnya malah memperkuat tali ikatan jiwa mereka.

Dan kali ini tidak seperti dulu. Walaupun dahulu perbedaan pendapat, salah paham atau cemburu menjadi alasan utama pertengkaran yang tak terelakkan, namun kali ini bukan pertengkaran yang seperti itu. Puji takut kalau pertengkaran ini akan menambah bebannya sendiri dan lebih takut lagi kalau tak berujung manis seperti dulu atau bahkan tak berujung.

“Kamu ini jaga kandungan aja ndak becus. Ngidamnya saja yang selalu minta dituruti. Tapi mana buktinya? Mana bukti kalau kamu juga cinta sama si cabang bayi? Aku sayah, Ji. Capek, kesel. Capek berdo’a biar dapet momongan, tapi kamu malah bikin runyam semuanya!” ucap Supriyadi kemarin sore, seraya mengambil jaket dan menghidupkan truk di halaman rumah. Lantas pergi.

Itulah kata-kata terakhir yang sempat Puji ingat sebelum Supriyadi pergi. Memang baru kemarin malam, tetapi ia tahu kalau ia tidak dapat melewati malam tanpa suaminya itu dan tadi malam adalah kali pertamanya ia lewati tanpa Supriyadi. Ketika pacaran pun demikian, setiap malam selama dua setengah tahun tidak pernah tidak saling bertemu. Walau hanya sekejap, walau hanya sesingkat waktu yang tercekat.

Pernah suatu ketika, Bapak melarang Puji keluar rumah waktu malam, karena ada isu genderuwo yang mengincar anak-anak gadis di desa untuk dijadikan santapan syahwatnya.

“Ee, kok ndak percaya. Si Ndari, cah wedok seko ndeso lor, koncomu mbiyen, wis ra perawan. Pergi malem-malem mau beli mi pangsit, pulang malah nangis. Katanya diculik genderuwo di bawah pohon asem, diperkosa katanya. “Wis, ojo lungo mbengi-mbengi meneh kawit saiki,” begitu Bapak coba beri wanti-wanti supaya Puji tidak keluar rumah pada malam hari.

Puji tidak percaya. Ia kenal Ndari, teman satu sekolah waktu di SMP dulu itu memang terkenal gatel, ganjen. Bagaimana tidak, saat kelas satu saja sudah sering pulang dengan Pak Doris, guru olahraga yang masih sangat muda. Pulang ke rumah pun ketika senja telah lewat. Puji sering merasa tidak enak ketika diminta Ndari untuk berbohong pada orangtuanya kalau menanyai keberadaan dirinya.

“Anu, Bu. Dia ke rumah Susi buat mengerjakan tugas biologi.”

Atau,

“Ada tes renang susulan buat Ndari Bu, di Celereng, mungkin nanti sore pulang.”

Atau,

“Ke rumah Yumi, ada kerja kelompok.”

Begitulah, dan ibunya pun selalu percaya. Heran. Puji jadi merasa tidak enak, merasa bersalah karena kebohongannya terus bertumpuk gara-gara ulah Ndari. Jadi ia tidak heran ketika suatu hari keperawanannya jebol. Puji yakin itu bukan perbuatan genderuwo, karena ia juga yakin genderuwo itu cuma khayalan konyol orang-orang penakut yang ingin meracuni keyakinan penduduk desa yang berangsur-angsur menjadi penakut pula. Mungkin itu perbuatan pacar Ndari entah yang mana, karena lebih dari selusin peminatnya.

Maka, ia pun bertemu dengan Supriyadi di jendela kamarnya. Ketika Supriyadi mengetuk-ngetuk jendela kamar yang terbuat dari kayu, laksana kode morse seseorang yang butuh pertolongan. Pertolongan apa? Apalagi kalau bukan pertolongan cinta. Lama mereka berbicara dan bercanda di jendela kamar tersebut, di bawah terangnya sinar purnama. Lampu kamar sengaja Puji matikan, selain alasan romantis dan hemat energi, juga agar dikira ia telah tertidur. Wajah mereka tersapu lembut sinar keperakan, mereka saling berpandangan dan mulai saling mendekat. Bibir mereka nyaris bertemu, ketika serta merta Bapak mengetuk pintu kamar. Supriyadi terjerembab ke semak bunga berduri di bawah jendela dan terbirit-birit pergi, setelah sebelumnya mengucap dengan logat Jawa-nya yang medok; “I Love You, Ndarling!” pada Puji yang kemudian menutup jendela kamarnya dan menuju pintu.

Betapa berartinya saat malam baginya, senja yang selalu menjemput malam bak sang pangeran yang menjemput sang puteri. Begitulah ia mengumpamakan dirinya. Malam adalah refleksi perenungan tentang segala sesuatu dengan tenang dan malam adalah saat yang tepat untuk berbagi cerita dengan kesunyian. Satu malam terlewati tanpa suaminya, betapa tersiksanya ia.

Keguguran. Itu adalah kata peristiwa yang memicu pertengkaran mereka kemarin malam. Setelah menunggu bertahun-tahun untuk mendapat momongan, akhirnya mereka diberi kesempatan untuk menjemputnya. Kata dokter, sesaat setelah Puji sering muntah-muntah di pagi hari, ia positif hamil. Kegembiraan pun meluap tak terperi, mereka berpelukan sepanjang pulang, bahkan sampai di rumah. Ngidam Puji pun aneh-aneh, dari mulai es sarang burung walet, sampai menyentuh telinga kuda delman milik Pak Atmo.

Namun, takdir memang berkata lain, tepat di usia tiga belas pekan kandungannya, Puji mengalami keguguran. Kepeleset waktu nimba air di sumur belakang rumah. Ia berteriak, karena selain merasa perutnya sakit, kakinya juga sempat berdarah akibat terbentur dinding sumur. Beberapa tetangga yang melihat serta mendengar rintih tertahan Puji segera menolongnya, membawanya ke dokter. Turut dalam pagi yang naas itu, dokter menyatakan keguguran atas kandungan Puji.

“Masih untung aku ndak nyemplung ke sumur,” ujar Puji berseloroh ketika Supriyadi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bernada menyalahkan.

“Aku lagi marah tahu!”

“Iya, aku tahu.”

Supriyadi pun menghabiskan rokok kreteknya.

Kini, Puji yang keguguran hanya terdiam, duduk memandangi jalan depan rumahnya yang mulai sepi, hari telah beranjak siang. Ia menyesal. Kenapa ia harus menimba air pagi itu. Ah, tapi salah suaminya juga, kenapa tidak masang jet pump seperti tetangga kanan-kirinya atau yang modern dikitlah, masang PAM seperti orang-orang di kota.

Tetapi keadaan yang buruk itu sudah terjadi. Waktu terus berjalan. Hanya jejak-jejak karya manusia yang tertinggal, entah yang sesuai dengan keinginan atau tidak. Apakah keadaan yang mesti dipersalahkan? Betapa tak terpuaskannya hidup, selalu mencoba mencari peluang untuk bisa lepas dari permasalahannya. Puji kini hanya bisa mematut diri di depan cermin besar kehidupan. Apakah memang begitu nista dirinya hingga sulit memperoleh anak? Apakah Tuhan tidak mempercayai dirinya, sangsi terhadap kasih sayang yang akan datang? Mungkin semesta alam telah bosan, mendengarkan keluh kesah pasangan ini yang tiada habis-habisnya, lalu membiarkan harapannya pupus ketika keajaiban itu baru sedikit terwujud. Harapan yang tinggal harapan. Harapan yang kini menambah beban baru.

Rasa nyeri masih dialami Puji. Nyeri di raga dan nyeri di rasa. Supriyadi mungkin tidak merasakan penderitaannya. Kekecewaan akan keguguran membuatnya kehilangan saat-saat romantis yang pernah mereka alami. Puji juga merasa risih kalau ada yang bertanya seputar keguguran kandungannya, ia biasanya akan menjawabnya sesingkat mungkin, lalu pura-pura izin istirahat tidur.

Ia benci dengan orang yang selalu ingin tahu, selalu ingin mengorek habis privasi orang lain, lantas mengumbarnya dengan menyampaikan kisah tersebut pada khalayak, terkadang dengan ditambah bermacam-macam bumbu agar lebih memikat. Jadi, kalau ada yang bertanya tentang keadaannya, lebih baik ia menjawabnya dengan ringkas, lalu mengalihkan pada topik lain seperti pengangkatan presiden baru yang katanya lebih menjanjikan, krisis teluk Jakarta yang seperti dikuras habis isinya, TKI yang terbebas dari penyanderaan di Irak, atau seputar tanaman yang cocok di sawah menjelang musim penghujan.

Sejak keguguran itu Puji juga sering menangis diam-diam, bukan menangisi dirinya atau sakit yang dialaminya, tetapi kenapa suaminya harus menerima kenyataan ini. Kenyataan memang selalu pahit, begitu yang pernah ia dengar dari lirik Iwan Fals. Tetapi apakah kepahitan hanya didapat dalam kenyataan, mengapa mimpi tidak pahit? Mimpi bergulir melenakan tanpa membuat kepahitan yang berarti. Mimpi itu indah, namun juga penuh teka-teki dan kejutan. Hanya kenyataan yang bisa dihinggapi rasa pahit. Getir.

Kenapa disaat-saat seperti ini tidak ada yang mau mengerti tentang keadaan dirinya? Kenapa setiap orang selalu bertanya-tanya tentang keguguran, bukannya memberinya dukungan untuk lepas dari beban pelik ini? Kenapa pula suaminya harus menyalahkan dirinya? Kenapa tidak menyalahkan Tuhan saja? Kenapa ia harus pergi? Malam yang terlewati tanpa hangat peluk suami tercinta.

Ketika Puji menuang teh tubruk pahitnya, terdengar langkah-langkah kaki yang begitu dikenalnya. Langkah kaki yang ringan, dengan sepatu yang selalu diseret menyapu tanah hingga terkadang membuat alas kakinya selalu aus. Puji segera tersentak, seperti mendapat sengatan listrik puluhan volt. Ia melihat secercah cahaya. Jantungnya berdebar karena gembira. Wajahnya seketika menjadi sumringah. Ia mengenali sosok yang ia yakin akan menemuinya tersebut walau ia belum melihatnya, bahkan hanya melalui suara saja, bahkan terkadang bau tubuh yang khas dan mewangi. Ia pun segera bangkit. Ia lupakan teh tubruk pahit. Ia lupakan orang-orang yang selalu bertanya seperti nyamuk yang selalu mengiung-ngiung di telinga. Ia lupakan kesedihan, karena begitu senang dirinya saat ini.

Puji sampai di ambang pintu dan benar saja, itu adalah Supriyadi yang memasuki pekarangan dan menatapnya. Segera, Puji menghampiri dan memeluk suaminya. Ia menubruk dan menghempaskan tubuh ke suaminya. Betapa rindunya ia, dada bidang suaminya memberinya rasa aman, dan bau tubuhnya yang asam karena keringat selalu membuatnya kecanduan untuk selalu mengendusnya. Tapi bau tubuhnya kali ini agak lain.

“Maafkan aku,” ucap Supriyadi. Ucapannya lalu berubah menjadi gema dan perlahan menghilang. Supriyadi melepaskan pelukannya dan berjalan mundur meninggalkannya. Puji berusaha mencegah dan mengejarnya, ia tidak akan melewatkan malam tanpa suaminya lagi. Tapi, bias cahaya putih mulai tampak dan menjadi semakin kental, menelan sosok lelaki itu.

“Mbak Puji, Mbak.”

Puji terbangun, rupanya ia tertidur dan tadi pastilah hanya mimpi. Seorang tetangganya menggoyang-goyangkan bahu Puji.

“Mas Supri... Mas Supri...” ucap perempuan itu gelisah.

“Mana, mana Mas Supri?” Puji segera bangun.

“Di rumah Mbak Lastri...”

“Hah, ada di rumah Mbak Lastri?”

“Bukan, a-ada telepon di rumah Mbak Lastri.”

“Iya, aku juga tahu kalau di rumah Mbak Lastri ada telepon”

“Telepon dari rumah sakit...”

“Hah?”

“... Mas Supri kecelakaan!”

“Gusti Allah!”

***

Jakarta, 19 Oktober 2004

Stardust; Petualangan Mencari Bintang Jatuh


Ini adalah sebuah film petualangan fantasi yang akan membawa anda merasakan hangatnya bintang-bintang. Bukan bintang dalam arti konotatif, tapi sebaliknya. Bintang di sini nyata. Bintang jatuh itu bernama Yvaine (Claire Danes). Berawal dari seorang pemuda bernama Tristian (Charlie Cox) yang jatuh cinta pada kekasihnya, Victoria (Sienna Miller). Tapi sang kekasih malah minta dibawakan bintang sebagai pembuktian cintanya. Jika anda berpikir bahwa ini adalah kisah romantis ala Shakespeare, tunggu dulu, karena ini belum berakhir.

Tristian melewati perbatasan kampungnya, melewati lembah dan bukit untuk mencari bintang jatuh. Takdir mempertemukan keduanya, Tristian dan Yvaine. Tristian takjub, ternyata bintang jatuh itu berwujud seorang gadis cantik. Yang mengincar bintang jatuh bukanlah Tristian seorang. Ada penyihir jahat bernama Lamia (Michelle Pfeiffer) yang menginginkan khasiat bintang jatuh untuk awet muda dan empat pangeran Stormhold yang berlomba untuk mendapatkan si bintang jatuh demi syarat mendapatkan tahta kerajaan, namun akhirnya berguguran satu persatu.

Perburuan menjadi semakin tegang, intens dan ajaib manakala Tristian yang membantu Yvaine lolos dari semua jebakan si penyihir, bertemu dengan kapal angkasa penangkap petir yang dikomandoi oleh Kapten Shakespeare (Robert de Niro). Kapten Shakespeare yang terkenal keras dan berpredikat buruk itu malah membantu Tristian dan Yvaine. Sifat kelelakian itu langsung runtuh di mata Tristian manakala ia mengetahui bahwa sang kapten adalah pria kesepian yang baik hati dan butuh perhatian.

Petualangan terus berlanjut sampai Tristian mengajak Yvaine menuju desanya. Niat hati Tristian untuk mempersembahkan bintang jatuh pada Victoria menjadi pudar, karena cinta sesungguhnya Tristian tertambat di hati Yvaine. Demi menolong Yvaine, Tristian mengalahkan pangeran yang ternyata adalah pamannya dan menghabisi penyihir jahat. Pertanyaan besarnya adalah, siapa Tristian sebenarnya?

Spesial efek menjadi kekuatan di film ini. Seperti halnya film ber-genre fantasi petualangan, nuansa gelap dan hujan bercampur dengan cahaya bintang dan keajaiban, dapat kita temui di sini. Yang menjadi nilai plus lain adalah sense of humour sutradara Matthew Vaughn yang cukup cerdas. Bumbu komedi berupa celetukan, karakter, ekspresi dan gestur para tokohnya mempermanis cerita. Segar dan tidak membosankan. Matthew Vaughn mampu membubuhkan porsi yang pas, sehingga memperkuat cerita asli yang berawal dari novel karya Neil Gaiman ini. “It’s totally fun and inspiring!”

Oh iya, kalau anda ada waktu luang, berkunjunglah ke www.stardustmovie.com dan namakanlah satu dari milyaran bintang yang ada di angkasa. [hp]