26/06/08

Siti Ditinggal Masuk Bui

Hai Siti, apa kabarmu setelah lama ditinggalkan Ahmad?
Kudengar kau makin lama makin mengeluh sendiri
Ahmad baru keluar penjara tujuh tahun lagi
Jadi, sabar saja.

Hai Siti, aku kemarin bertemu dengan Bangor
Ia menanyakan kabarmu, lalu kujawab ‘tidak tahu’
Bangor kini menjadi seorang saudagar kaya
Berjualan rempah diselingi permata

Hai Siti, bagaimana kau sanggup hidup seorang diri?
Tanpa suami dan sanak famili
Tolong pikirkan, kalau boleh aku sarankan
Bagaimana kalau Bangor jadi pengganti Ahmad?



***
Jakarta, 7 Mei 08

Main Hati Dengan Siti Main Hati Dengan Siti Main Hati Dengan Siti

Aku menangis ketika akad nikah seminggu yang lalu. Semua menenangkan dan ikut terharu. Padahal aku menangis karena Siti, kekasihku yang dulu.

Malam pertama aku lalui dengan gemetar, karena baru kali itu aku melaluinya, dengan selain Siti. Aku mematikan lampu, istriku menyangka bahwa aku terlampau gugup atau malu. Padahal sebenarnya aku hanya bisa bercinta dengan membayangkan tubuh Siti-ku.

Seminggu berlalu tanpa cumbu. Yang ada hanya istriku yang terus merayu. Namun apa daya, hatiku tak mampu menepis cinta yang terlanjur membiru pada kekasihku yang dulu.

Dua puluh satu menit yang lalu aku menelpon Siti. Aku bilang kalau aku ingin kawin lagi. Tentunya dengan Siti. Siti menolak dengan alasan aku terlampau bodoh untuk kembali.

Lima menit yang lalu aku bicara dengan istri. Aku mengakui kalau aku sudah main hati, dengan Siti. Di luar perkiraanku yang seharusnya istri marah, ternyata malah tersenyum. Ia menyuruhku kawin lagi. Tapi, ia yang pergi.


***
Jakarta, 21 Juni 2008

Siti Naik Kereta

Siti sampai di stasiun Jakartakota siang itu. Ia rupanya ingin kembali bernostalgia. Biasanya ia diantar supir, namun karena ini adalaah hari ulang tahunnya, maka ia memutuskan untuk naik kereta ekonomi saja. Jangan tanya pada saya apa hubungan antara ulang tahun dengan kereta, itu hanya Siti yang tahu. Sempat saya mencuri dengar ketika Siti berbicara dengan Stephanie, Situ selalu teringat akan aroma tubuh Pongky yang mendekapnya dalam kereta ekonomi. Maka itu, kini ia kembali naik kereta. Ah, kenapa jadi bertele-tele, ya? Sudahlah.

Siti tertegun ketika ia memasuki peron. Banyak sekali orang yang menunggu kereta. Lalu keretanya mana? Belum ada satu pun batang hidung kereta-kereta itu. Panjang umur, beberapa menit kemudian satu kereta jurusan Bekasi tiba. Kereta orange-biru itu langsung diserbu calon penumpang. Penumpang banyak yang membawa kardus-kardus besar, sepeda dan tas punggung. Beberapa orang menyenggol tubuh Siti, entah sengaja atau tidak, menuju arah kereta tersebut. Siti terhuyung, lalu merasa lehernya perih. Kalungnya telah dicuri. Siti tidak berteriak, karena ia tahu tidak akan ada gunanya. Ia hanya menyeka sedikit darah dengan tissue.

Kereta tujuan Bogor akhirnya tiba. Kereta itu bahkan diserbu calon penumpang yang dua kali lipat banyaknya. Siti terpaksa mengikuti arus masuk ke gerbong dua. Jangankan duduk, berdiri pun susah. Lampu di dalam gerbong yang tidak menyala membuat para penumpang berkeluh kesah. Tiba-tiba, bokong Siti serasa ada yang menjawil. Kali ini Siti teriak. Namun percuma, karena suara penjual pita rambut lebih keras dari teriakan Siti.

Turun di stasiun Tebet, wujud Siti sudah tidak karuan. Rambutnya berantakan dan pakaiannya pun jadi lecek. Lehernya perih dan bokongnya dijawil. “Lain kali aku naik kereta sama Mas Pongky aja,” batinnya. Jangan tanya saya kenapa dia punya konklusi demikian, karena saya bukan Mas Pongky.


***
Jakarta, 26 Juni 2008