21/04/08

RI 10

“Kamu tahu RI 10 itu siapa?”
“Tidak. Kenapa?”
“Hampir menabrakku di Lenteng Agung. Mentang-mentang pejabat, seenaknya aja kalau di jalan umum. Padahal kalo dipikir-pikir, semua orang juga punya kepentingan.”
“Oh.”
“Kok cuma ‘oh’?”
“Ya dimaklumi saja, ayahku memang begitu.”


***
Jakarta, 21 April 2008

Sandal Jepit

Sandal jepitku, aku menggigil pagi ini. Mungkin karena dia yang menenggelamkan tubuhku malam tadi.

Jika aku melupakanmu, mungkin itu bukanlah kesengajaan. Sama ketika aku membuat tubuhmu terluka. Aku menjumpaimu hanya sebelah, kemana yang sebelah lagi? Apa mungkin dirampas olehnya? Si perempuan keji itu. Yang menatap matanyapun membuatku selalu ingin meludah. Aku tahu, sebagai lelaki berakal, harusnya aku mencari perempuan lain. Tapi aku lebih memilih untuk tinggal, mengingat ia begitu menyayangiku. Setidaknya, begitu ucapnya. Sayangnya, ia tidak menyayangimu, sandal jepitku. Apakah aku harus meninggalkannya demi dirimu? Mungkin setelah itu, sandal jepitku yang sebelah bisa kembali.

Sandal jepitku, aku benar-benar menggigil pagi ini. Mungkin karena dia memang menenggelamkan tubuhku malam tadi.


***
Jakarta, 21 April 2008

18/04/08

Gantung

Charger itu kini meracau pada Compo dan Hair Dryer, karena dirinya yang sudah tidak disentuh lagi oleh pemiliknya.

“Sial, kalau sudah tidak mau ya bilang saja. Jangan didiamkan seperti ini!” ucap Charger setengah berteriak.


“Yah, jangan protes sama saya dong. Kalau mau, bikin aja korslet listrik di rumah ini. Biar terbakar dan…” sahut Hair Dryer terpancing emosinya.


“Dan kita juga meleleh, mati. Mau?” timpal Compo.


Semuanya terdiam. Charger dan Hair Dryer mengalihkan pandangan ke arah lain.


“Padahal, kalau kalian tahu, aku juga sakit hati karena tidak pernah digunakan. Kalian pikir enak cuma dibuat alas kipas angin atau alat make up? Kita ini sama-sama digantung, tidak jelas mau diapakan. Kita cuma menunggu, tanpa tahu menunggu apa sebenarnya,” Compo berbicara dengan lirih, suaranya pun agak serak.


Tak lama, pemilik barang-barang elektronik itu masuk ke dalam kamar. Ia mengangkat charger. Charger senang karena dirinya merasa akan benar-benar digunakan kali ini. Tapi ternyata, pemilik itu malah memasukkannya ke dalam kardus, begitu juga dengan compo dan hair dryer.


“Sayang, buruan dibuang. Barang-barang rusak gitu kok tetep disimpan sih?” ucap seorang perempuan dari ruangan lain.


Lelaki itu mencium charger, compo dan hair dryer dengan khidmat, sebelum ia menghibahkannya ke tukang loak yang menunggu di depan pagar rumah.





***
Jakarta, 15 April 2008

Kartunis

Kartunis itu mati dalam keadaan hidup-hidup, beserta seorang istri dan dua anaknya yang masih kecil. Berita di minggu pagi itu segera menyeruak ke seluruh dunia. Ia memang seorang yang juru gambar dan bukan itu yang menyebabkannya dikenal dunia. Tapi, buah karyanya yang sangat kontroversial beberapa tahun lalulah penyebab awal ia menjadi sorotan publik.

Awalnya sederhana, ia hanya mengejawentahkan apa yang ada di pikirannya mengenai sosok sebuah fenomena alam ke dalam sebuah gambar kartun. Memang agak terkesan mengejek. Bahkan hal itu bertentangan dengan kepercayaan yang telah ada. Ia menganggapnya itu sebuah kebebasan, namun khalayak umum memandangnya sebagai pelecehan. Pelecehan kepercayaan dan kebebasan itu sendiri. Kartunis itu lantas teringat bagaimana Galileo atau Socrates di akhir hidupnya. Sedikit gentar agaknya ia. Namun terlambat, karyanya dimuat di harian ibukota negeri itu. Sudah bisa ditebak, respon negatif muncul di mana-mana. Sekitar tujuh puluh persen penduduk dunia mengecamnya. Gerak kartunis itu kini tak lagi bebas. Ia bahkan membatasi ruang bagi istri dan anaknya untuk berhubungan dengan dunia luar. Apartemen mereka pun disegel, menyusul pembakaran poster dirinya dan bendera negerinya di berbagai belahan dunia. Kartunis itu lantas membawa keluarganya keluar kota, kemudian kembali pindah menuju area perbatasan. Istrinya sakit di tengah jalan, kondisi kedua anaknya pun tak kalah turunnya. Mereka kini menjadi bulan-bulanan di sepanjang jalan, diludahi dan dilempari tahi. Hanya gara-gara sebuah gambar kartun.

Pelarian mereka akhirnya terhenti di sebuah persimpangan negeri. Kabarnya, di desa kecil tersebut kebebasan sangat diagungkan. Kartunis itu mempercayai hal tersebut, terlebih ketika melihat beberapa anak muda berlarian telanjang menuju sebuah ayunan di bawah pohon besar, seorang paruh baya yang menempel simbol keagamaan secara terbalik di depan rumahnya, juga anak kecil yang memasukkan kemaluannya ke seorang pelacur. Maka, kartunis itu membangun rumah di sana, di atas sepetak tanah sewaan. Keluarganya pun berangsur-angsur membaik. Istrinya kini bahkan memberi semangat pada si kartunis untuk membuat gambar-gambar kontroversial. Walau awalnya takut karena masih trauma, tapi perlahan ia membuat gambar lagi. Kali ini, idenya lebih gila, ia menggambar tuhan dengan cara yang sangat ekstrim, berpelukan dengan pelacur. Gambar itu lantas dipajang di depan rumahnya. Ia tidak puas. Kartunis itu ingin agar karyanya dipublikasikan ke seluruh dunia. Beberapa orang di desa itupun mendukungnya.

Sampailah karya itu di media internet. Kini, tidak hanya ia dan keluarganya yang terancam, tapi bahkan seluruh penghuni desa. Beberapa orang yang panas dengan gambar tersebut memburu sang kartunis, begitu juga dengan kelompok yang dulu sempat ingin menghabisinya. Kekuatan lawan sang kartunis meningkat pesat. Maka ia kembali diburu. Seisi desa melarikan diri begitu mendengar hal tersebut. Akhirnya, semuanya berakhir ketika rumah sang kartunis terbakar dalam hujan. Jeritan dan raungan kesakitan terdengar dari dalam rumah tersebut. Bukan, bukan siapa-siapa yang membakar rumah itu, bahkan kejadian itu begitu cepat sebelum para pemburu tiba.



***
Jakarta, 18 April 2008

14/04/08

Sisir Biru

Sisirku tergeletak pasrah di meja dekat lemari baju. Tampaknya ia menunggu untuk kusentuh. Aku tahu, dengan dua minggu lebih mengacuhkan mungkin membuatnya sakit hati. Selama itu pula aku tidak menggunakan sisir sama sekali. Sebenarnya ini tidak perlu terjadi seandainya saja ia tidak mengecewakanku. Coba bayangkan, di depan perempuan yang kutaksir selama tujuh bulan terakhir itu, sisirku keluar dari saku belakang ketika aku berdiri. Ia membawa serta gumpalan-gumpalan ketombe… dan jatuh di meja cafĂ©. Tepat di depan matanya. Hancur harapanku, sekarang aku bahkan tidak dapat menghubungi perempuan itu lagi. Mungkin karena lantaran aku terlalu jorok di matanya. Sekarang, aku pun berlaku sama pada sisir biruku. Aku membiarkannya tergeletak tanpa pernah kusentuh lagi.

Mungkin sebentar lagi aku buang.


***
Jakarta, 14 April 2008

10/04/08

Kembali Kanak-Kanak

Kamu tahu, ketika Peterpan kembali ke Neverland, dia mendapati dirinya yang terlalu dewasa. Keceriaan masa kecil itu sempat hilang, hingga butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa mengingatnya, mengembalikannya. Menyesalkah Peterpan mengetahui itu semua? Mungkin. Tapi satu yang pasti, ia senang kembali ke Neverland. Bertemu kawan-kawan semasa kecil sungguhlah menyenangkan. Di sana, ia tidak takut melanggar aturan, karena mereka sendiri yang membuat semua aturan.

Beberapa saat kemudian, Peterpan kembali terseret ke dunia nyata. Ternyata hanya mimpi ia kembali ke Neverland. Kenyataan memang tak semanis yang ia pikirkan, tapi juga tidak begitu pahit jika dirasakan. Maka, dengan lemas ia pergi ke toilet, untuk buang air kecil. Lalu berkaca di cermin, hendak mencukur kumis dan jenggotnya yang selalu tumbuh lebat. Betapa terkejutnya ia, melihat bayangan dirinya di cermin yang kembali muda.

Dan Tinkerbell pun mengintip tersenyum di balik pintu.


***
Jakarta, 23 Maret 2008

koma



(untuk almarhum Munir)


Belum selesai perjuangan
Jalanku pun masih terbuka
Masih ada banyak beban yang harus aku pikul sendiri
Ku daki sendiri...
Sendiri...

Loyalitas negeri ini pada hati begitu memprihatinkan
Tugasku untuk memberinya mahkota
Tapi aku hanya bergerak sendiri
Menari sendiri...
Hingga tiba waktuku...

Dan semua masih belum usai



***


Jakarta, 14 September 2004

09/04/08

Dengarkan Aku

Maafkan aku yang terlalu mengharapkanmu
Hiraukan aku yang selalu di belakangmu
Ku tak peduli walau apa yang terjadi
Ku ingin di sini dan kau masih tak mengerti

Luangkan sejenak waktumu kali ini
Cobalah mengerti gelisah dalam hati
Ku ingin kau sadari bahwa ku hanya untukmu
Dan hanya aku yang bisa melengkapimu

Mohon dengarkanlah semua prmintaanku
Entah sampai kapan kau menjauh dariku
Bila saja ku tahu apa yag masih mengganggu
Tolong biarkanku mengisi sisa waktumu

Biru

Masih teringat jelas tentangmu
Yang selalu hadir dalam bayangku
Mendera inginku untuk kembali merengkuhmu

Senyummu yang menenangkan sendu
Tangismu yang meluluhkan kalbu
Caramu memperlakukanku rayu

Tapi mengapa semua hanya rindu
Kita terpisah ruang dan waktu

Dirimu sangat berarti bagiku
Kau beri yang terindah untukku
Semua hal kurasa begitu ceria dulu

Ketika kau pergi malam itu
Seutas mimpi pun terbang menjauh
Rasa pilu menghujam seluruh batinku

Dan semua rindu hanyalah rindu
Kita terpisah ruang dan waktu
Kenanganmu masih tetap membiru
Meraga sukma dalam diriku yang beku


***

Jakarta, 1 Juni 2004