-©-
I drove for miles and miles and wound up at your door
I've had you so many times but somehow I wantmore
[She Will be Loved – Maroon 5]
“Ini bukan yang terakhir!” ujar cowok itu setengah berseru.
Brakk!! Aku menutup pintu taksi yang baru kunaiki dengan kencang dan seolah tidak mempedulikan apa yang baru saja ia katakan. Aku tak tahu apa yang kurasakan. Bahkan mungkin terlalu kalut untuk memikirkan apa yang terjadi saat ini.
“Ke Pondok Labu, Pak,” pintaku sambil menghela nafas. Supir taksi itu mulai memutar setir dengan perlahan, memasuki jalan yang basah.
Tak terasa, pipiku pun telah basah. Air mataku terasa pahit memasuki rongga nafasku. Aku masih terus terisak, sambil menempelkan tissue ke wajahku.
“Kenapa, Mbak?” suara supir taksi membuatku semakin sedih untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Lelaki paruh baya di depanku, sesekali menetapku dan kendaraan di belakang secara bergantian, melalui kaca spion di atasnya.
“Nggak, nggak kenapa-napa,” jawabku singkat, sambil mengangkat tissue dari wajahku dan sengaja untuk tidak memancing keingin-tahuan lebih lanjut pak supir.
Aku mengalihkan pandanganku keluar. Butir-butir hujan menerpa kaca jendela dan membuat garis-garis alur jalan airnya. Ingatanku kembali menghitung mundur waktu dua bulan yang lalu.
Pulang kuliah itu, aku lelah sekali. Jam di kamarku sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan aku bersiap untuk melompat ke tempat tidur, ketika handphone ku berdering keras. Aku melihat layarnya dan tidak ada nama, hanya deretan nomor panjang. Aku memperhatikannya sesaat untuk memastikan bahwa aku memang tidak mengenal nomor itu.
“Halo...?” bukaku dengan ragu-ragu. Kemudian terdengar nada yang diputuskan. Tak lama kemudian, berdering lagi. Masih dengan nomor yang sama dan aku pun kembali mengangkatnya dengan penasaran.
“Halo juga,” jawabnya singkat, setelah itu kembali mati. Seorang cowok.
“Siapa nih?” tanyaku ragu ketika handphone yang berada di tanganku ku kembali berdering dan mati, terus bergantian.
“Rinda, ya?”
“Ini siapa?”
“Bukan siapa-siapa.”
“Tau nomor gue dari mana?”
“Dia nggak mau disebut.”
Bla-bla-bla, sampai kupingku terasa panas dan tanganku terasa lelah untuk mengangkat. Tapi, aku menanggapinya.
Begitulah. Awal perkenalan yang aneh.
Keesokan harinya, dia menelpon lagi, masih dengan cara yang sama. Dasar cowok nggak mau modal, pikirku. Namanya Rico, ketika akhirnya ia memberitahu namanya. Dan dia terus menelpon seperti itu dengan cara itu, setiap hari.
Selama dua bulan itu, aku merasakan sesuatu yang unik tentang Rico. Dia banyak bercerita tentang dirinya, begitupun sebaliknya. Ternyata Rico itu orangnya asik, unik dan agak nyentrik, karena kesukaannya pada pernak-pernik asesoris etnik (??)
Aku merasa kami telah begitu dekat, mungkin terlalu dekat, walaupun kami belum pernah bertemu muka selama ini. Setiap SMS-nya, aku catat dalam buku harianku, sampai berpuluh-puluh halaman. Gila memang kedengarannya. Aku tak tahu kenapa selalu menuliskan setiap SMS darinya, mungkin karena isinya yang selalu melambungkan imaji dan menerbangkan khayalku.
“Jangan terlalu banyak berharap, Rin,” tukas Dini ketika aku menceritakan tentang Rico padanya.
“Tapi dia itu beda, Din. Cuma dia yang paling care ama gue, cuma dia yang bikin gue merasa istimewa,” bantahku ketika membela perasaan di hatiku.
“Lo nggak lagi jatuh cinta, kan?” selidiknya padaku.
“Itu masalahnya. Kayaknya aku bener-bener jatuh cinta, deh. Soalnya...”
“Rinda, lo tuh belom tau dia aslinya kayak apa. Mukanya aja belom pernah lo liat...”
“Gue gak peduli! Gue bakal tetap sayang sama dia, tanpa gue permasalahin tampangnya. Gue terima dia apa adanya, kok.”
“Ya udah, terserah lo. Toh hanya elo yang ngerasain,” ucapnya mengakhiri percakapan. Selanjutnya, ia langsung berdiri dan berjalan ke kantin.
Itulah. Aku selalu ribut dengan Dini, sahabatku satu kampus, ketika aku bicara tentang Rico.
* * *
Dua hari yang lalu, Rico menelpon dan mengatakan ingin agar kita ketemu. Ia berkata bahwa ia ingin tahu seperti apa wujud orang yang selalu diteleponnya, yang dekat di hatinya. Aku tidak bisa menuliskan perasaanku saat itu, antara bahagia dan bingung. Aku takut mengecewakannya. Aku mengatakan bahwa aku tidak seperti yang ia bayangkan selama ini, aku tidak secantik cewek-cewek lain. Tapi dia mengatakan kalau itu bukan masalah dan dia berjanji akan menerimaku apa adanya.
Setelah menerima telepon itu, aku tersenyum pada Tuhan, karena akhirnya aku diberi seseorang yang bisa menyayangiku. Akhirnya aku bisa memecah dan menghancurkan rasa iri yang timbul setiap saat aku berada satu mobil dengan Dini dan cowoknya, yang selalu bermesraan di depanku. Huh, menyebalkan. Sekarang aku pun bisa, batinku.
Aku melompat-lompat riang dan memeluk setiap orang yang kutemui di rumahku ketika aku keluar kamar. Bi Yani yang sedang mencuci piring, sempat latah untuk hendak menelan busa pencuci ketika aku memeluknya dari belakang. Ayah dan adikku sempat menghindar, namun mereka tahu bahwa mereka tidak dapat pergi jauh dariku, dan akhirnya pasrah menerima. Hmm, kebiasaan burukku kalau aku sedang senang berlebihan.
Aku kembali ke kamar dan tertawa-tawa sendiri. Aku memandangi cermin di sisi tempat tidurku. Tiba-tiba aku terdiam, lama sekali. Aku memandangi tubuhku yang memang agak overweight, bekas-bekas jerawat di pipiku meninggalkan lubang-lubang kecil yang membuatku tampak bodoh, bibirku bahkan terlalu tebal untuk seorang cewek, juga rambutku yang habis di rebonding, bukannya bagus, malah membuatku semakin mirip badut.
Aku benci diriku! Kenapa aku diciptakan dengan fisik seperti ini?! Tuhan terlalu kejam padaku, Ia bahkan sama sekali tidak mempedulikanku. Tapi, sepertinya kali ini beda. Sebentar lagi aku akan bersama Rico, memilikinya. Huh, kenapa ya, aku selalu menganggap dia pacarku? Aku kembali teringat setiap SMS-nya yang selalu bernada mesra, yang memang membuatku berkeyakinan kalau ia benar-benar cinta padaku. Wow, cinta! Aku tersenyum sendiri, tapi perlahan hilang. Berbagai pertanyaan singgah di kepalaku. Apakah ia akan menerimaku? Apakah ia akan menjadi milikku? Apakah ia benar-benar menulis setiap SMS-nya dari hati? Ataukah ia akan meninggalkanku ketika melihatku yang sesungguhnya?
Ah, gila. Aku terlalu terobsesi padanya. Tangan kananku secara reflek menepuk pipiku beberapa kali, mencoba menyadarkan aku untuk menerima segala kenyataan yang terjadi, seburuk apapun. Aku harus tegar, janjiku. Aku menghempaskan tubuhku ke belakang, menatap langit-langit kamarku yang dipenuhi poster Bill Clinton, presiden terganteng yang membuatku megap-megap setiap saat melihat beritanya di TV.
“Rinda mau kemana?” tanya Dini padaku ketika jam kuliah baru saja usai. Ia melihatku bergegas menuju keluar ruangan.
“Mau ketemu pacar gue,” jawabku begitu antusias. Aku terlalu gembira sore ini. Aku lalu berlari menuju ke luar kampus. Sempat terlihat oleh ekor mataku, Dini yang menggelengkan kepalanya memperhatikanku.
Aku dan Rico janjian di Blok M Plaza jam lima sore. Aku turun dari bus kota dan setengah berlari menuju Plaza, karena jarum jam di tanganku sudah menunjukkan pukul lima kurang lima menit. Aku menuju ke tempat yang kami janjikan. Ku ambil saputangan dari tasku dan menggunakannya untuk menyeka keringat di leher dan keningku. Kepala dan mataku kompak melihat kesana-kemari, kiri dan kanan, atas dan bawah. Dia belum datang?
Aku menghubunginya melalui handphone-ku. Lama sekali, ia tidak mengangkatnya. Aku mencoba menghubunginya lagi, tapi tetap tidak diangkat, kecuali suara mailbox.
Dua jam aku menunggunya. Selama itu pula aku memperhatikan setiap orang yang lewat atau yang naik tangga-tangga eskalator. Mataku masih mencari sosok cowok gondrong, setidaknya itu katanya tentang rambutnya. Beberapa pasangan yang lewat di hadapanku, membuatku ingin menangis. Iri? Mungkin. Tiba-tiba, aku merasakan handphone-ku bergetar. Rico!.
“Rinda ada dimana?” tanyanya dengan suara terengah-engah. Lalu mematikan handphone-nya. Tuh anak, masih aja pelit pulsa.
“Di depan lift lantai lima?” jawabku ketika ia kembali menelpon, lalu kembali mati.
Perasaanku semakin tidak karuan. Aku memandang diriku sekali lagi pada sisi lift yang memang dapat memantulkan bayangan. Aku berkaca. Aku memastikan bahwa tidak ada yang salah yang lain dari diriku, selain yang memang sudah “salah”.
“Rinda, sori tadi telat,” sebuah suara mengagetkan ku dari belakang, suara yang tidak asing bagiku.
Aku membalikkan tubuhku dan melihat sosoknya, berbalut kemeja putih yang tak dikancing, t-shirt hitam dan celana jeans.
“Kenapa? Ini bener Rinda, kan?”
Aku terhentak. Baru kusadari bahwa aku melongo dari tadi.
“Eh, iya. Kenapa telat?” kataku perlahan.
“Sori, tadi macet banget. Aku juga nggak bisa ngangkat handphone, karena bisnya penuh, gak bisa gerak, kayak sarden,” ucapnya sambil tersenyum.
Oh Tuhan, terima kasih. Rico bukan hanya sekedar cowok romantis, tetapi dia jauh lebih keren dari bayanganku selama ini. Rambutnya memang gondrong sebahu, tetapi rapi, senyumnya lebih menawan dibandingkan Bill Clinton-ku dan gaya bicaranya masih tetap sama ketika di telepon, cuek tapi jujur. Tiba-tiba aku merasa bahwa aku cukup cantik, sehingga berani bertemu dengannya.
Dia mengajakku ke food court, kami terus berbicara dengan tergagap, karena memang seperti itulah setiap pertemuan pertama. Tak terasa sudah hampir dua jam lebih aku berhadapan dengan Rico di meja makan. Kami banyak mengobrol, sementara makanan di depan kami telah habis dari tadi. Ia berkali-kali melemparkan kata-kata dan humor padaku. Walaupun agak jayus, tapi aku selalu tertawa karenanya. Ku lihat di matanya, tidak ada rasa kecewa karena penampilan fisikku, ia seperti berhadapan dengan seorang perempuan cantik yang sesuai dengan bayangannya.
“Rico, kamu sebetulnya suka sama aku nggak, sih?” ucapku akhirnya. Kulihat sedikit raut wajahnya yang berubah.
Ia terdiam lama memperhatikanku. Lalu ia menghela nafas.
“Kenapa kamu berpikir aku suka sama kamu?” suaranya membuatku seperti terlempar jatuh ke jurang.
“SMS kamu itu?”
“Kenapa? Tapi itu bukan berarti aku suka sama kamu, terus jadi pacar kamu,” aku kembali merinding mendengarnya.
“Aku memang sayang sama kamu, karena kamu udah banyak buat perubahan banyak dalam diriku. Cuma sama kamu aku bisa jujur dalam segala hal, bahkan kita terlalu banyak mengenal pribadi satu sama lain. Aku nggak mau kita pacaran. Sempit sekali pikiran kamu kalau berharap kita bisa pacaran. Aku berharap, kita bisa tetap sahabatan selamanya, karena aku memang sayang kamu...sebagai sahabat dan kakak yang selalu jadi pengingat satu sama lain,” ucap Rico panjang lebar.
Aku tidak tahu perasaanku. Mungkin aku memang terlalu memikirkan yang tidak-tidak. Aku terlalu berharap dia menjadi pacarku.
“Aku pikir semua yang kamu tulis itu…,” aku tidak dapat meneruskan kata-kataku. Lidahku terlalu kelu untuk bicara.
“Aku udah bilang tadi dan udah jelasin semuanya. Pernah denger tentang sebuah mitos gak? Bahwa pacaran itu timbul karena emosi sesaat dan mudah dihancurkan oleh emosi sesaat pula. Udah jam setengah sepuluh nih. Rinda nggak mau pulang? Nanti kemalaman lho.”
Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Memang tidak seburuk dugaanku. Yah, setidaknya Rico tidak meninggalkanku diam-diam saat pertama melihatku. Tetapi hal ini sungguh diluar dugaanku.
Kami keluar dari tempat makan dan berjalan perlahan menuju pintu keluar.
“Rinda pulang lewat mana?” tanyanya sambil tersenyum. Ya ampun, seandainya ia tidak tersenyum seperti itu.
Aku hanya menjawabnya dengan isyarat lirikan mataku ke arah kanan jalan. Ketika aku hendak berjalan meninggalkannya, Rico mengikuti di belakangku.
“Aku cuma mau mastiin kamu baik-baik aja,” jelasnya ketika aku menoleh ke arahnya, seolah ia bisa mengetahui isi hatiku yang remuk redam.
Jadilah aku dan Rico berjalan menyusuri trotoar yang dipenuhi para pedagang kaki lima. Angin dingin dan udara lembab menerpaku. Kulihat ke arah langit, rembulan yang perlahan mulai tertutup awan hitam. Sesekali aku melirik ke arah Rico. Kasihan sekali cowok ini, pikirku. Seharusnya dia tidak bertemu dengan orang sepertiku. Seharusnya ia bertemu setidaknya yang jauh lebih baik daripada aku. Sedikit banyak, ia pasti menyesal telah mengetahui tampang asliku. Tapi ia pandai sekali menyembunyikannya, ia selalu berusaha tersenyum, walau aku tahu bibirnya tidak ingin seperti itu.
“Tuh kan, bisnya udah pada nggak ada. Tadi kenapa kita nggak ke terminalnya aja? Yuk, mendingan kita balik ke terminal. Siapa tau masih ada bisnya,” ujarnya.
Aku sekali lagi, tidak dapat berkata apa-apa. Aku mengikuti langkah-langkah kakinya, kini giliran aku yang mengekor. “Rico cowok baik, ya.” Hanya kata itu yang bisa terucap dari mulutku. Ia lagi-lagi tersenyum.
Sesampainya di terminal, ternyata bus yang hendak aku tumpangi memang sudah tidak ada. Rintik-rintik hujan mulai turun. Kulihat beberapa orang berlari dan mencari tempat teduh.
“Udah, kamu pulang aja duluan. Aku bisa naik taksi, kok,” harapku pada Rico. Rico menggeleng.
“Aku kan cowok, cuek aja. Kalo Rinda kan cewek, tar kalo ada apa-apa gimana?”
“Kayaknya aku nggak pulang deh, malam ini.”
“Cck, jangan ngomong macam-macam deh.”
“Nggak apa-apa. Kamu pulang duluan aja. Aku jadi nangis kalo liat kamu,” kataku sambil menghapus air mataku yang mulai meleleh dengan sapu tangan.
“Emangnya tampangku memelas, ya?” ucapnya sambil mengerutkan kening, lalu kembali tersenyum. Tapi aku yakin ia melihat air mataku.
Aku bukan menangisi sikapnya yang menolak untuk jadi cowokku tadi, tapi aku hanya menangisi diri sendiri. Aku mengasihani diriku sendiri, atas fisikku yang minus dan atas pikiran-pikiranku yang selama ini jauh di atas kenyataan sekarang. Benar kata dia, sempit.
Tadi aku begitu senang untuk menantinya, sekarang aku malah menangis di hadapannya. Bagus.
“Aku yang salah, Rico. Tadinya aku pikir kamu adalah harapanku, mimpiku, bahkan mungkin jodohku. Tapi aku sadar, aku ngaca, siapa aku. Mungkin ini adalah pertama dan terakhir kalinya kita ketemu, aku nggak sanggup hadapin semua ini.”
Air mataku semakin mengalir deras, sederas hujan. Aku tahu Rico hendak angkat bicara, tetapi aku buru-buru menyambungnya.
“Kamu pulang, ya. Rumah kamu kan lebih jauh daripada aku. Hujan nih, nanti kamu sakit, lho,” ujarku pura-pura tabah.
Tampak sedikit rasa kecewa dan kasihan di wajah Rico. Ia terdiam dan menatapku. Aku kikuk. Ia hendak angkat bicara lagi. tapi aku melihat sebuah taksi yang kosong menuju ke arah kami.
“Udah, ya. Terima kasih, kamu udah mengisi hari-hariku terakhir ini. Aku sayang kamu, tolong jangan sakitin cewek lain kayak aku. Please... Ini yang terakhir kita ketemu. Bye!”
Rico berusaha mencegahku, tapi aku keburu masuk ke dalam taksi. “Ini bukan yang terakhir!” serunya kecewa dengan sikapku.
Aku menangis deras, sederas hujan. Rico nggak salah, aku yang terlalu pe-de. Aku sayang Rico, tapi aku juga sekaligus benci dia.
Sebuah persimpangan jalan. Taksi yang kini ku tumpangi melaju cepat, sesaat kulihat sebuah truk pengangkut sapi yang juga berlari cepat... tepat ke arahku.
Ya, ini yang terakhir….
***
Jakarta, 1 Desember 2003