19/12/07

Yume Oi Bito


Semua orang di kotaku panik, mereka semua keluar rumah. Anak-anak, orang tua, ibu, kakak, nenek, mbah Poniran, sampai hansip Jupri juga tampak terkejut atas apa yang terjadi. Semua orang menengadah ke atas. Ke arah langit. Ya, aku juga diantara mereka. Aku satu diantara kerumunan orang-orang dewasa. Aku melihat benda besar, bulat, pipih dan berhenti tepat di atas lapangan bola. Bunyinya seperti desingan motor matic milik Kak Marcell yang sudah dimodifikasi.

“UFO!”

“Bukan, itu antena parabola pak Sardi!”

“Nggak mungkin, itu di atas lapangan bola, kok!”

“Lha, trus itu apa?”

“Masa sih UFO?”

Benda besar bulat pipih itu menghentikan bunyi desingannya. Bagian bawahnya membuka. Beberapa orang terpekik. Bahkan, tidak jarang yang lantas melarikan diri, berlari sekuatnya, sampai menabrak yang lain. Aku masih terdiam, memandangi dengan takjub fenomena aneh itu. Mungkin saja, ini akan jadi hari paling bersejarah dalam hidupku.

Bagian bawah itu seperti pintu, kini telah terbuka sepenuhnya. Kemudian keluar darinya beberapa sosok yang meluncur dengan papan seperti skateboard. Mereka berjumlah belasan, yah, setidaknya demikian yang bisa aku lihat. Beberapa orang makin histeris. Mereka seolah kehilangan akal sehat. Menabrak, menginjak dan menerjang siapapun yang menghalangi langkah mereka. Mbah Poniran ikut lari sambil terkencing-kencing, hansip Jupri langsung pingsan, ibu Rena yang sedang hamil sampai-sampai tersandung tubuh gempal si hansip dan terjatuh.

Sosok-sosok itu meluncur makin menuju bumi. Aku bisa melihat mereka yang berwarna keunguan. Tubuh itu memantulkan sinar saat terkena sinar matahari. Pantulan-pantulan itu terlihat berwarna-warni. Aku suka.seperti pelangi. Aku tidak pernah melihat pelangi, padahal ayahku sering bercerita tentang pelangi. Ia sering bercerita tentang Yume Oi Bito, lelaki yang memegang pelangi. Ayah bilang kalau sekarang pelangi enggan muncul, karena sibuk dengan urusannya sendiri, ayahku hanya sering menggambarkan di buku gambarku akan pelangi. Sekarang, aku benar-benar melihatnya.

Sosok-sosok itu mendekati orang-orang yang berlarian. Belum sempat aku memperhatikan apa yang terjadi pada mereka, satu sosok mendekat. Tepat didepan wajahku. Sosok itu berkilauan, dengan wajah mirip manusia pada umumnya. Dia seolah bingung melihatku yang malah tersenyum.

“Kenapa kamu tersenyum?”, tanyanya.

“Karena aku melihat warna. Aku melihat pelangi,” jawabku riang.

“Kenapa tidak ikut lari?”

Aku menggelengkan kepalaku. Lalu tanpa disadari tanganku terjulur sambil mulutku berkata, “Bawalah aku.”


***


Jakarta, 14 Juli 2007

Bulan Separuh


Nanda adalah anak tetanggaku. Tetanggaku yang bekerja sebagai tukang tambal ban. Ia seringkali merasa tidak pede dengan pekerjaan ayahnya. Berkali-kali aku melihat Nanda ribut dengan ayahnya. Entah itu karena minta dibelikan sepeda atau karena ingin minta tambah uang jajan sekolahnya.

Hmm, bisa sekolah saja sudah suatu keuntungan besar buat kamu, batinku suatu ketika.

Ayah Nanda yang paruh baya itu kondisi fisiknya makin lemah dari hari ke hari. Kemarin sore bahkan kulihat ia berpegangan pada pintu pagar ketika hendak berangkat menambal ban. Ia memegang gagang pagar itu cukup lama. Wajahnya tertunduk. Bahunya naik turun. Aku pun berusaha menghampirinya.

“Ada apa Pak Prawiro?”

“Ah, eh.. tidak apa-apa kok, Nak.”

“Bener, Pak?”

“Bener, Nak Friska. Cuma pusing sedikit saja, kok.”

Lantas, ia menegapkan badannya dan kembali melangkah. Ia tersenyum padaku, lalu menaiki sepeda tuanya. Aku masih memperhatikannya sampai tikungan pertama. Ia menghilang.

Sore itu, ketika aku baru saja pulang bermain dari rumah temanku. Aku melihat Nanda sedang marah-marah. Sampai keluar ke jalan. Siapa lagi yang dimarahi kalau bukan ayahnya. Walau ia cuma hidup berdua dengan ayahnya, tapi ia tak sedikitpun merasa sayang. Entah kenapa.

Para tetangga berusaha melerai. Namun Nanda berontak. Walaupun masih kelas lima SD, Nanda memang bertubuh gemuk. Tenaganya pun besar. Aku saja pernah melihatnya memukul ayahnya, hingga pipi sang ayah memar.

Pertengkaran sore itu berakhir dengan Nanda yang membanting pintu pagar bambu dan Pak Prawiro yang menangis tertunduk di mulut pintu rumah. Di dekat Pak Prawiro, ada raport Nanda. Raport dengan banyak angka merah. Rupanya, menurut tetangga, Pak Prawiro kecewa dengan hasil belajar anaknya. Tapi yang ada, mlah Nanda yang memarahi balik ayahnya karena kurang memperhatikan dan memberi uang jajan sedikit dan sebagainya... dan sebagainya.

Malam terang. Bulan hampir purnama. Aku duduk di loteng rumah sambil membayangkan bisa terbang ke bulan. Sayup-sayup aku mendengar seorang tetangga yang berteriak, “Pak Prawiro... Pak Prawiro!!”

Aku turun, aku melihat tetangga ramai. Pak Prawiro digotong masuk ke dalam rumah. Lelaki tua itu meninggal dunia. Entah dimana Nanda sekarang.


***

Jakarta, 3 Juli 2007

13/12/07

Suatu Siang di Perempatan Kota


Helios berdiri sendiri. Di tengah keriuhan kota dan kini menatap tajam ke arah puncak bangunan tertinggi yang dikaguminya. Saat itu pukul dua belas siang, sudah waktunya ia melakukan apa yang harus dilakukan. Hal itu sudah lama ia simpan, ia rahasiakan, ia jaga, dari siapapun atau apapun yang mencoba mencurinya.

Sudah waktunya, batin Helios mantap. Maka ia pun menghembuskan nafas kuat-kuat, lalu melangkah dalam riuh keseharian kota.

Ia bukannya tidak memiliki orang yang sanggup untuk berbagi rahasia, ia bahkan memiliki sahabat-sahabat terdekat yang tak terhitung jumlahnya. Terlebih lagi dengan Wulan, dara itu bahkan telah mengisi hati dan jiwanya selama lebih dari tiga masa terakhir. Ia banyak menggantungkan cita-cita serta beberapa keinginan, bahkan yang mustahil sekalipun padanya. Begitu berharganya, Helios tidak sampai hati untuk menyentuhnya sedikitpun. Sebuah asa serta jawaban atas do’anya selama ini dan ia tidak berani memberitahukan rahasianya.

Begitu berartinya rahasia itu, sampai paksaan dan derita ia alami untuk tetap mempertahankannya. Begitu besarnya rahasia tersebut, sampai ia sendiri merasa terbebani dan memutuskan untuk mengungkapkan pada semuanya siang ini. Sempat ia hampir mengurungkan niatnya, berulang-ulang kali sebelumnya bahkan, namun ia sudah merasa lelah terdesak musuh-musuhnya. Ia memilih pukul dua belas, sesuai dengan angka keberuntungan yang selama ini dipegangnya.

Helios tidak membawa apa-apa selain rahasia itu, polos dan utuh, tidak seperti yang terbayang mengenai figur seorang pembawa rahasia besar yang akan mengubah dunia.

Dan Helios akhirnya memberitahu rahasianya. Pernyataan dan kenyataan bahwa ia bukan lahir dari rahim ibunya, serta jumlah udara yang bisa bersamanya tak lama lagi. Maka, semua orang berpikir dan merenung tentangnya. Enam puluh kaki, Helios melihat ke bawahnya.

***

13 Juli 2005

Lembar Lembar Arti



“Rangga Aditya!”

Suara Pak Armantono, guru fisika, membangunkanku yang mulai berngantuk-ngantuk ria. Aku terpaksa kembali berkonsentrasi pada papan tulis dan mencoba kembali menyimak pelajaran guru yang terkenal killer itu.

Akibat hobi membacaku yang akhir-akhir ini sangat menyita banyak waktu istirahatku, membuatku sering kali tidur terlalu larut malam, bahkan menjelang subuh. Aku memang biasanya enggan menggantungkan bacaanku atau menaruhnya sejenak sebelum buku itu habis ku lahap. Semua keluargaku memang hobi membaca, baik dari keluarga ayah maupun ibu.

Dari kecil, aku sudah terbiasa membaca cerita-cerita Hans Christian Andersen dengan dongeng-dongengnya yang memukau, juga Sir Arthur Conan Doyle dengan seri Sherlock Holmes-nya yang rumit tapi menyenangkan. Di rumahku yang termasuk kecil, buku-buku menjadi satu-satunya penghias dan “barang berharga” yang dengan mudah ditemui. Ayahku lebih suka menghabiskan gajinya sebagai pustakawan untuk membeli buku daripada membeli guci mahal, kendaraan bermotor, alat pancing atau hewan peliharaan. Begitu juga dengan ibuku, sisa uang belanja dari ayah dan penghasilan dari warung masakan Padang-nya, lebih suka digunakan untuk membeli buku daripada membeli kalung, cincin, atau perhiasan lain.

Perhiasan-perhiasan tersebut menurutnya hanya akan menambah beban kita sebagai pemilik. Betapa tidak, sebuah kalung dua puluh gram yang mewah, akan membuat si pemilik merasa was-was dan selalu curiga pada setiap tamu yang datang ke rumahnya. “Hati kita tidak akan tenang, kan?” ucap Ibu memberi pengertian. “Coba kalau buku, siapapun boleh meminjamnya atau bahkan memintanya. Pikiran kita tetap tenang dan wawasan bertambah. Ilmu di dalamnya juga tidak akan habis jika dibaca oleh banyak orang,” tambah Ayah kemudian.

Tetapi, akhir-akhir ini buku-buku itu malah menyusahkanku. Betapa tidak, pelajaranku sering terbengkalai, gara-gara setumpuk buku seri filsafat yang baru dikirim oleh pamanku yang tinggal di luar negeri. Aku pun jadi kecanduan, terlebih lagi topik filsafat yang membutuhkan daya pikir dan analisis yang mendalam. Tinggal satu buku lagi yang aku belum baca dan aku berniat menghabiskannya malam ini. Meski belum begitu paham dengan pola pikir orang-orang macam Plato, Aristoteles, Freud, Jung, dan teman-teman sejenisnya itu, tapi setidaknya aku mengetahui ide dan gagasannya walau sedikit.

“Rangga, udah seminggu ini lo jadi agak aneh. Kenapa sih? Dinda yang lo taksir itu juga jadi kesel gara-gara lo cuekin mulu. Ada apa, sih, lo?” tegur Dedi, sahabat karibku, saat istirahat sekolah.

“Gue lagi serius belajar filsafat, nih,” jawabku seraya menunjukkan buku dengan gambar karikatur dan judul “Sartre”.

Diluar dugaanku, Dedi bukannya tertarik, malah menampar bukuku hingga jatuh ke tanah.

“Lo emang bener-bener gila! Baca buku sih boleh, tapi jangan jadi maniak gitu, dong. Sampe semua temen-temen lo dan semua waktu lo, elo sia-siain. Mikir, dong, nggak semua bisa dicapai dengan baca buku. Jadi konsumen terus!” ucap Dedi dengan keras kepadaku.

Aku yang kesal ketika melihat bukuku terhempas ke tanah, ditambah lagi dengan cara bicara Dedi yang kasar, membuatku naik pitam. Dengan berang, aku melayangkan tinjuku ke mukanya. Ia terkejut dan sedikit terdorong ke belakang. Tendangan kaki kananku menyusul kemudian, tepat mengenai ulu hatinya, hingga ia terjatuh berdebam. Aku membuatnya merasa kesakitan, seperti bukuku yang ia kasari tadi.

Beberapa teman menghampiri kami dan menahan gerak kami selanjutnya. Mereka tahu, Dedi hendak bangkit dan membalas seranganku. Aku pun juga berniat menghajarnya lagi. Teman-teman memisahkan dan melerai kami, beberapa ada yang menasehati dengan halus. Tapi aku tidak mau mendengarnya, Dedi pun pasti demikian. Aku tahu dari sorot matanya yang menghujam tajam ke dalam mataku. Dari sudut bibirnya, ku lihat darah yang mulai keluar, ia menyekanya sesaat dan juga membersihkan debu yang mengotori tubuhnya. Aku kasihan juga melihatnya, tapi dia yang telah memulai hal ini, pikirku.

Sesampainya dalam kelas, aku kembali membaca buku “Sartre”-ku. Tanpa kusadari, Dinda telah berdiri di hadapanku. Aku terkesiap ketika ia berdehem pelan.

“Kenapa tadi?” tanyanya padaku.

Antara terkejut dan tidak percaya, aku memandanginya. Dinda, gadis kelas sebelah yang aku taksir dan tampak dingin pada semua cowok-cowok di sekolah ini, berdiri dan berbicara di hadapanku. Ada apa ini?

Dengan gerakan-gerakan konyol dan salah tingkah, aku berusaha menyembunyikan bukuku dan berdiri sambil merapihkan seragamku.

“Nggak usah pake gugup gitu, dong. Jawab aja,” tukasnya singkat, penuh ketidakramahan. Tapi aku tetap suka.

Bagaimana tidak gugup, Non. Cewek yang selama ini aku taksir dan terkenal cuek pada semua cowok, sekarang menghampiriku, teriakku dalam hati.

“Hei, denger nggak, sih?”

“I-ya, saya. Eng... anu, tadi habis.. biasa...”

“Berantem, kan?” sergahnya.

Raut mukanya menampakkan ekspresi tidak suka terhadapku. Nyaliku sedikit agak ciut juga. Ternyata dia itu galak, ya? pikirku. Aku menunggu dan ngeri mendengar kata-kata yang akan ia ucapkan selanjutnya.

“Aku pikir kamu beda. Tapi ternyata kamu sama saja dengan mereka,” ucapnya sambil menatap tajam ke arahku.

Aku tidak mengerti yang ia katakan.

“Apa maksud ka...?”

“Aku benci cowok kasar! Aku tidak akan pernah suka dengan cowok yang hobi berantem!” katanya sambil berlalu.

Malam harinya, pikiranku bercampur aduk. Buku “Sartre” itu memang telah selesai kubaca, namun kurasakan pikiranku melayang. Bayangan-bayangan kejadian hari ini memenuhi pikiran dan pandanganku. Aku kesal melihat bukuku yang ditepis keras oleh Dedi. Aku coba mencerna dengan bijak ucapan-ucapannya. Aku juga menyesal telah berkelahi dengannya. Tapi yang paling membingungkan adalah kehadiran Dinda beserta kata-katanya yang menyisakan tanya di hatiku.

Sendiri, aku menyesal dengan ulahku di sekolah tadi. Aku sempat melihat derai air mata yang jatuh saat Dinda berpaling pergi dariku. Apa maksudnya semua ini?

Aku memandangi tumpukan buku yang memenuhi rak di kedua sisi dinding kamarku. Banyak buku yang telah aku baca, baik fiksi maupun realita, juga psikologi serta berbagai buku tentang kehidupan. Di antara sekian banyak buku yang telah ku baca tersebut, apakah menyisakan bekas padaku? Apakah buku-buku tersebut merubah sikapku serta perangai burukku? Apakah buku-buku tersebut telah total memberikan arti, walaupun hanya sedikit?

Tidak. Buku-buku itu hanya memberikanku kesenangan. Aku memang senang membaca buku. Semua buku aku baca dan mataku serasa gatal jika melihat buku baru. Rangkaian kata dan paragraf-paragraf yang lezat itu, membuatku selalu ingin melahapnya. Tapi aku tidak seperti kedua orang-tuaku. Sebagai anak tunggal, seyogyanya aku berhak mendapatkan kata “manja” dari mereka. Tetapi mereka tidak memperlakukanku seperti itu.

“Kalau ayah menuruti semua keinginanmu, kamu tidak akan pernah menjadi dewasa. Kamu tidak akan pernah merasakan betapa bahagianya ketika kamu memberi, bukannya merasa puas karena meminta. Umurmu sudah empat belas sekarang, kamu sudah bisa mulai berpikir,” kata ayah sambil tersenyum pada hari ulang-tahunku dua tahun lalu.

“Ayah dan ibu hanya mau kamu menjadi mandiri, tanpa tergantung pada sesuatu yang berifat sementara. Dari buku yang kamu baca, seharusnya kamu bisa memetik hikmah-nya. Kamu juga bisa mendapat banyak pengalaman berharga yang tidak akan tersentuh oleh pengalaman maupun pelajaran di sekolah yang sangat singkat tersebut. Sekarang kamu mengerti?” sambung ibu yang juga tersenyum.

Aku yang tidak begitu mengerti, hanya mengangguk untuk menyenangkan mereka. Tapi sekarang, aku baru mengerti maksud kata-kata kedua orangtuaku itu. Aku akan mengamalkan setiap kata yang tersirat dari buku-bukuku. Aku akan mencoba menjadi anak baik seperti yang mereka impikan.

“Maaf ya, Ded. Gue kemaren sempet kesel sama elo,” kataku sambil mengajak Dedi salaman keesokan harinya.

Dedi tersenyum, lantas memelukku. Aku yang tidak biasa di peluk, jelas gelagapan. Tanpa bermaksud menyinggungnya, aku melepaskan pelukannya.

“Tenang aja, gue bukan homo,” candanya seolah membaca pikiranku. Aku tersenyum.

“Gue juga minta maaf, udah bikin lo kesel. Eh, tadi pagi Dinda kasih gue ini. Dia bilang ini buat lo, kalo udah selesai baca dan paham isinya, lo diminta buat nelepon dia,” sambungnya sambil menyodorkan sebuah buku tentang pengalaman-pengalaman orang lain dalam cinta dan persahabatan.

“Wah, thanks berat nih.”

“Eh, jangan terima kasih ama gue. Tapi sama dia, tuh.”

Aku berpaling ke arah orang yang di tunjuk Dedi. Dinda! Dia berdiri di muka kelasnya. Setelah sadar aku melihatnya, ia berbalik dan kembali masuk kelas, tapi aku sempat melihat senyum kecilnya.

“Tuh, kan, dia senyum! Pertanda baik.” ujar Dedi penuh semangat.

Aku pun tersenyum dan memandangi cover indah buku tersebut. Sambil memegang erat buku pemberian Dinda, aku mengajak Dedi ke kantin.

“Dibayarin, nih? Ada angin apa?”

“Yah, itung-itung bayar kesalahanku kemarin.”

“Jangan gitu dong, kita kan udah baikan. Eh, ngomong-ngomong selama lo sekolah di sini, kalo nggak salah udah enam cewek yang lo taksir dan semua kandas. Tapi yang ini, kayaknya bakal jadian deh. Sifat kalian hampir cocok, hobi kalian kan juga sama...”

“Emang dia suka baca juga?” tanyaku semangat.

“Bukan, ngangon bebek! Ya, jelaslah. Dia juga terkenal baca buku-buku novel, tau. Liat aja rambutnya yang selalu dikuncir,” canda Dedi.

“Yee, emang ada hubungannya?” kami pun tertawa sambil menunggu bakso yang kemudian aku pesan.

***


Jakarta, 25 Juni 2004

07/12/07

Rahasia Malam


Malam datang lagi, Sayang

Apakah kau merasakannya?

Kala jemarimu menjelajahi ruang tanpa sudut itu

Juga kala helai nafasmu membelai waktu


Bintang itu berkelip, Sayang

Ini sudah yang ketiga kalinya

Kita pernah sempat menunjuk satu bintang

Lalu menamakannya dengan arti kata yang sama


Di sudut mata, satu bintang jatuh, Sayang

Jejaknya memecah vakumnya peristiwa

Kau memejamkan mata untuk meminta

Lalu merengkuhku erat seolah esok tak datang lagi


Malam semakin larut, Sayang

Bahuku masih basah saat kau meninggalkanku setelah tangis itu

Kau memintaku untuk melupakanmu

Pertanyaannya adalah, apakah bisa?


Sekarang sudah menjelang pagi, Sayang

Sudah terbangunkah kau dari mimpi yang menemani malammu?

Aku masih di sini, menunggu pagi

Dan aku masih menyimpan rahasia itu


***


Jakarta, 9 November 2007

Idiopathic


Kali ini, cinta datang padaku dengan sangat cepat dan mengejutkan. Bayangan dirinya selalu berkelebat di setiap gerakku. Siluet parasnya menggugahku untuk membuai pena di tanganku.

Aku hanya ingin mencintainya secara bijaksana. Tidak seperti kupu-kupu yang cepat datang dan pergi dengan penuh tanda tanya.

Aku hanya ingin mencintainya secara sederhana. Dengan ayunan langkah riang, aku bisa jujur tentang segalanya. Dengan hati terbuka, aku bisa menerima apa adanya. Sesederhana gerakan bulan terhadap bumi dan matahari.

Apakah salah kalau aku jatuh terlalu dalam? Jauh memasuki setiap relung dan inci dari sendiriku. Aku tidak ingin ini berakhir dengan sedih atau bahagia, karena aku tidak menginginkan keduanya.

Jikalau nanti telah tiba waktuku, aku hanya ingin pergi sendiri. Mungkin ditambah satu atau dua tangkai kembang plastik yang dulu sempat ingin kuberi padanya saat ia menangis.

Saat aku pergi, aku tidak ingin ada setetes air mata mengalir darinya. Saat aku pergi, aku tidak ingin melihat mata sembabnya atau auranya yang menghitam.

Aku hanya ingin dia tahu kalau aku tidak dapat hidup lagi tanpanya.

***


Jakarta, 23 Nov 03 @ 11 pm

Adalah Diriku Tanpamu


Mendekap hampa di hati

Dan sepi hanyalah sunyi

Tak ‘kan lagi ku pahami

Arti istimewa di diri


Kau telah jauh pergi

Membawa semua mimpi

Selamanya kau menari

Dalam tubuhku yang mati


Untukmu segalanya

Yang terbaik selamanya


Adalah diriku yang menunggu

Tanpa harap tanpa air mata

Adalah diriku yang tak tentu

Hanya masa lalu yang tersisa

***

Jakarta, 11 Maret 2005

Kucingku Namanya Kucing


Kucingku namanya Kucing. Ia suka sekali menggigit-gigit ujung bantal tempat tidurku. Sampai robek-robek karenanya. Dulu, kucing itu aku ambil dari bak sampah. Waktu itu bulunya berwarna abu-abu cokelat. Setelah aku bersihkan, ia jadi berwarna abu-abu cerah dengan belang putih. Kucing sangat lucu. Aku suka. Tiap pulang sekolah ia selalu menghampiriku di pintu pagar. Mengeong sejenak, lalu menggesek-gesekkan punggungnya di kakiku. Ia dengan setia menungguku selesai makan siang, entah itu untuk menunggu tulang ikan atau sekedar menjilati piring makanku.

Malam hari, Kucing tidur denganku. Tapi tentunya tidak satu tempat tidur. Ia aku buatkan tempat tidur khusus yang aku buat sendiri dari kardus bekas. Cukup nyaman kurasa. Aku menambahinya dengan kain-kain perca sisa jahitan ibu. Kucing memang dasarnya nakal, tetap saja kain-kain itu robek-robek habis ia gigit.

Tubuhnya kini bertambah besar, ia mulai mengasah kedua kuku kakinya di kaki meja belajarku. Aku sering memarahinya. Pernah aku memukul kepalanya dengan penggaris plastik. Tapi setelah itu aku dimarahi oleh ibu, katanya tidak baik memukul binatang. Aku menyesal. Aku juga disuruh oleh ibu meminta maaf pada Kucing. Tapi dasar kucing, ia malah melengos pergi saat aku membungkuk untuk meminta maaf.

Suatu ketika, aku pulang sekolah mendapati kaki kiri belakang Kucing terluka. Ayah memberi tahu bahwa tadi Kucing terlindas sepeda si Arif. Huh, aku sebal dengan cowok itu. Ia selalu bertindak kasar. Mungkin ia satu-satunya teman di komplek rumahku yang aku jauhi. Katanya, ia baru mendapat sepeda baru hadiah ulang tahun pemberian pamannya. Tapi kalau digunakan untuk yang tidak terpuji, buat apa? Aku buru-buru membantu ayahku membalut luka Kucing. Kucing itu seolah meringis saat aku lumuri obat merah. Aku tersenyum. Kata ayah, binatang tahu kalau kita berbuat kebaikan untuknya. Ayahku yang memang dokter selalu memberi penjelasan menarik tentang banyak hal, khususnya yang berbau kesehatan.

Hmm, aku berharap Kucing akan selalu menemaniku, saat ujian sekolah beberapa hari lagi, saat aku masuk SMP, selama aku duduk di bangku SMU, bahkan sampai kuliah, kalau perlu sampai aku tua. Tapi akankah seperti itu? Aku melihat ayahku hanya menggeleng sambil tersenyum padaku. Selesai diobati, Kucing melompat ke arah meja makan. Ya, kami akan makan bersama, karena sekarang sudah saatnya makan siang.


***

4 Juli 2007

Pelajaran Batu


Ketika pulang sekolah, kaki Rina tersandung batu. Ia meringis kesakitan. Lutut kanannya berdarah. Sisi dan Rayni mengantarnya pulang. Sisi dan Rayni memang teman sekelas Rina di sekolah dasar. Rina pulang dengan kaki terpincang-pincang. Sesampainya di rumah, ibu segera membasuh luka dan mengobati Rina.

“Uuh, kenapa sih harus kesandung?”

“Yah, itu namanya sudah qodar dari yang di atas, Rina,” jawab Ibu memberi pengertian.

“Tapi sakit, Bu,” tangis Rina kembali tumpah.

“Sabar, ya. Beberapa hari lagi juga sembuh.”

“Rina nggak mau sekolah besok!”

“Kenapa?”

“Kaki Rina sakit banget, Bu.”

Ibu Rina tersenyum dan mengusap kepala Rina sekali.

“Ibu dulu juga beberapa kali terluka. Waktu belajar naik sepeda, lutut ibu juga sempat berdarah. Tapi, itu nggak menjadikan ibu kapok belajar sepeda. Ibu malah makin semangat. Karena di dalam luka ada pelajaran. Nah, pengalaman seperti itulah yang membuat kita tahu dan tidak mengulangi kesalahan.”

Rina mengusap air matanya. “Tapi kan, sakit.”

“Buktinya sekarang ibu bisa naik sepeda, malah bisa mengantar kamu ke sekolah naik sepeda.”

Rina tersenyum, ibunya mengangkat sebelah alis sambil membalas senyum Rina.

“Umm, Qodar itu apa, sih, Bu?”

“Qodar itu ketentuan Allah yang harus kita jalani. Dari situ kita diuji apakah kita bisa melaluinya atau tidak.”

“Kalau tidak?”

Ibunya menggeleng ringan. “Kita pasti bisa melaluinya, sayang.”

Rina kini tersenyum.

“Nah, gitu, dong. Kalau anak ibu senyum gitu kan manis. Eh, ibu ada es krim di kulkas. Kamu mau?”

“Rasa coklat, Bu?”

Ibu mengangguk mengedipkan sebelah matanya.


***


Depok, 11 September ‘07

Gandari


Malam semakin beranjak dewasa. Sang rembulan mulai tertatih menyelamatkan malam, terserang berkali-kali oleh barisan kabut kelabu. Sementara, bintang gemintang laksana glitter yang berkelap-kelip di hamparan beludru hitam. Nun jauh di ufuk, mulai terlihat semburat-semburat tipis cahaya fajar. Ya, segera saja malam akan semakin tergusur, berganti tugas dengan surya yang menyirami semesta dengan sinarnya.

Gandari masih terjaga, bahkan ia belum tidur semenjak kemarin. Rambutnya yang panjang, dibiarkan terurai. Sementara, matanya tampak lelah dan kuyu. Ia menatap semburat fajar yang semakin meraja, dari jendela yang menghadap ke timur. Entah sudah berapa lama ia terduduk di sebuah kursi kayu berukir naga tersebut. Tidak ada apa-apa di ruang yang desebut sebagai ruang perenungan itu, ruang yang biasa dipakai untuk memutuskan masalah pelik yang sering menimpa keluarganya, kecuali dua kursi kayu silinder berukir naga tadi dan sebuah cermin besar di salah satu sudut ruangan.

Suram, begitulah kesan pertama yang ia rasakan ketika pertama kali memasuki ruang tersebut. Hanya ada satu pintu masuk yang juga terbuat dari kayu ukiran yang sangat berat untuk dibuka, juga sebuah jendela yang menghadap ke timur. Dinding merah bata yang tampak telah terselimuti sarang laba-laba di keempat sudutnya, membuat sedikit ciut nyalinya ketika awal ia memasukinya. Tetapi, Gandari memang tidak pernah dididik manja oleh orangtuanya. Sebaliknya, ia diajarkan bagaimana menjadi mandiri dengan kekuatan sendiri.

Akibat kekalahan Sangkuni, kakaknya, melawan Pandu Dewanata dalam sebuah duel adu kesaktian, Gandari pun harus rela diserahkan pada Pandu. Untuk itu, Gandari harus bersaing dengan Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Jadi total, ada tiga calon yang akan menjadi istri Pandu. Sebetulnya, ia tidak keberatan menjadi pendamping Pandu, bahkan merasa peluang kekuasaan telah singgah di pelupuk matanya. Tetapi kemudian, Pandu mempersilahkan Destarastra untuk memilih satu dari tiga calonnya tersebut. Itu artinya, salah satu dari ketiga calon tersebut akan menjadi istri Destarastra, kakak Pandu yang buta.

“Ah, buat apa menjadi istri orang buta. Tidak bisa menjadi penguasa,” ucap Gandari pada Sangkuni.

Sakit kepalanya memikirkan semua ini. Ia bingung. Gelisah. Tujuannya hanya satu, sebagai perempuan cantik ia pastinya ingin mempunyai suami yang menjadi dambaan setiap perempuan; gagah, tinggi, rupawan dan mempunyai jabatan pentig di kerajaan. Seringkali ia berandai-andai menjadi permaisuri seorang raja dari negeri seberang, dengan segala kemewahan, perhiasan dan kehormatan. Ya, hal-hal itulah yang membuatnya selalu merasa sebagai perempuan penting.

Gandari semakin hanyut dalam perasaan rasa penyesalan yang terdalam. Ia lalu berdiri dan mengepalkan tinjunya pada tepian dinding, hingga membuat tengannya sedikit berdarah. Ia tidak tahu mengapa ia melakukan itu, mungkin hanya saja rasa depresi dan kekesalan yang sudah memuncak. Ketika fajar sudah benar-benar menyala, Gandari pun berteriak dan seketika ruang tersebut tersapu angin, membuat sarang-sarang laba-laba itu terhempas berterbangan.

Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia benci dengan keadaan ini.


***

Jakarta, 26 September 2004





"Ini (Bukan) Yang Terakhir!"



-©-

I drove for miles and miles and wound up at your door

I've had you so many times but somehow I wantmore

[She Will be Loved – Maroon 5]

“Ini bukan yang terakhir!” ujar cowok itu setengah berseru.

Brakk!! Aku menutup pintu taksi yang baru kunaiki dengan kencang dan seolah tidak mempedulikan apa yang baru saja ia katakan. Aku tak tahu apa yang kurasakan. Bahkan mungkin terlalu kalut untuk memikirkan apa yang terjadi saat ini.

“Ke Pondok Labu, Pak,” pintaku sambil menghela nafas. Supir taksi itu mulai memutar setir dengan perlahan, memasuki jalan yang basah.

Tak terasa, pipiku pun telah basah. Air mataku terasa pahit memasuki rongga nafasku. Aku masih terus terisak, sambil menempelkan tissue ke wajahku.

“Kenapa, Mbak?” suara supir taksi membuatku semakin sedih untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Lelaki paruh baya di depanku, sesekali menetapku dan kendaraan di belakang secara bergantian, melalui kaca spion di atasnya.

“Nggak, nggak kenapa-napa,” jawabku singkat, sambil mengangkat tissue dari wajahku dan sengaja untuk tidak memancing keingin-tahuan lebih lanjut pak supir.

Aku mengalihkan pandanganku keluar. Butir-butir hujan menerpa kaca jendela dan membuat garis-garis alur jalan airnya. Ingatanku kembali menghitung mundur waktu dua bulan yang lalu.

Pulang kuliah itu, aku lelah sekali. Jam di kamarku sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan aku bersiap untuk melompat ke tempat tidur, ketika handphone ku berdering keras. Aku melihat layarnya dan tidak ada nama, hanya deretan nomor panjang. Aku memperhatikannya sesaat untuk memastikan bahwa aku memang tidak mengenal nomor itu.

“Halo...?” bukaku dengan ragu-ragu. Kemudian terdengar nada yang diputuskan. Tak lama kemudian, berdering lagi. Masih dengan nomor yang sama dan aku pun kembali mengangkatnya dengan penasaran.

“Halo juga,” jawabnya singkat, setelah itu kembali mati. Seorang cowok.

“Siapa nih?” tanyaku ragu ketika handphone yang berada di tanganku ku kembali berdering dan mati, terus bergantian.

“Rinda, ya?”

“Ini siapa?”

“Bukan siapa-siapa.”

“Tau nomor gue dari mana?”

“Dia nggak mau disebut.”

Bla-bla-bla, sampai kupingku terasa panas dan tanganku terasa lelah untuk mengangkat. Tapi, aku menanggapinya.

Begitulah. Awal perkenalan yang aneh.

Keesokan harinya, dia menelpon lagi, masih dengan cara yang sama. Dasar cowok nggak mau modal, pikirku. Namanya Rico, ketika akhirnya ia memberitahu namanya. Dan dia terus menelpon seperti itu dengan cara itu, setiap hari.

Selama dua bulan itu, aku merasakan sesuatu yang unik tentang Rico. Dia banyak bercerita tentang dirinya, begitupun sebaliknya. Ternyata Rico itu orangnya asik, unik dan agak nyentrik, karena kesukaannya pada pernak-pernik asesoris etnik (??)

Aku merasa kami telah begitu dekat, mungkin terlalu dekat, walaupun kami belum pernah bertemu muka selama ini. Setiap SMS-nya, aku catat dalam buku harianku, sampai berpuluh-puluh halaman. Gila memang kedengarannya. Aku tak tahu kenapa selalu menuliskan setiap SMS darinya, mungkin karena isinya yang selalu melambungkan imaji dan menerbangkan khayalku.

“Jangan terlalu banyak berharap, Rin,” tukas Dini ketika aku menceritakan tentang Rico padanya.

“Tapi dia itu beda, Din. Cuma dia yang paling care ama gue, cuma dia yang bikin gue merasa istimewa,” bantahku ketika membela perasaan di hatiku.

“Lo nggak lagi jatuh cinta, kan?” selidiknya padaku.

“Itu masalahnya. Kayaknya aku bener-bener jatuh cinta, deh. Soalnya...”

“Rinda, lo tuh belom tau dia aslinya kayak apa. Mukanya aja belom pernah lo liat...”

“Gue gak peduli! Gue bakal tetap sayang sama dia, tanpa gue permasalahin tampangnya. Gue terima dia apa adanya, kok.”

“Ya udah, terserah lo. Toh hanya elo yang ngerasain,” ucapnya mengakhiri percakapan. Selanjutnya, ia langsung berdiri dan berjalan ke kantin.

Itulah. Aku selalu ribut dengan Dini, sahabatku satu kampus, ketika aku bicara tentang Rico.

* * *

Dua hari yang lalu, Rico menelpon dan mengatakan ingin agar kita ketemu. Ia berkata bahwa ia ingin tahu seperti apa wujud orang yang selalu diteleponnya, yang dekat di hatinya. Aku tidak bisa menuliskan perasaanku saat itu, antara bahagia dan bingung. Aku takut mengecewakannya. Aku mengatakan bahwa aku tidak seperti yang ia bayangkan selama ini, aku tidak secantik cewek-cewek lain. Tapi dia mengatakan kalau itu bukan masalah dan dia berjanji akan menerimaku apa adanya.

Setelah menerima telepon itu, aku tersenyum pada Tuhan, karena akhirnya aku diberi seseorang yang bisa menyayangiku. Akhirnya aku bisa memecah dan menghancurkan rasa iri yang timbul setiap saat aku berada satu mobil dengan Dini dan cowoknya, yang selalu bermesraan di depanku. Huh, menyebalkan. Sekarang aku pun bisa, batinku.

Aku melompat-lompat riang dan memeluk setiap orang yang kutemui di rumahku ketika aku keluar kamar. Bi Yani yang sedang mencuci piring, sempat latah untuk hendak menelan busa pencuci ketika aku memeluknya dari belakang. Ayah dan adikku sempat menghindar, namun mereka tahu bahwa mereka tidak dapat pergi jauh dariku, dan akhirnya pasrah menerima. Hmm, kebiasaan burukku kalau aku sedang senang berlebihan.

Aku kembali ke kamar dan tertawa-tawa sendiri. Aku memandangi cermin di sisi tempat tidurku. Tiba-tiba aku terdiam, lama sekali. Aku memandangi tubuhku yang memang agak overweight, bekas-bekas jerawat di pipiku meninggalkan lubang-lubang kecil yang membuatku tampak bodoh, bibirku bahkan terlalu tebal untuk seorang cewek, juga rambutku yang habis di rebonding, bukannya bagus, malah membuatku semakin mirip badut.

Aku benci diriku! Kenapa aku diciptakan dengan fisik seperti ini?! Tuhan terlalu kejam padaku, Ia bahkan sama sekali tidak mempedulikanku. Tapi, sepertinya kali ini beda. Sebentar lagi aku akan bersama Rico, memilikinya. Huh, kenapa ya, aku selalu menganggap dia pacarku? Aku kembali teringat setiap SMS-nya yang selalu bernada mesra, yang memang membuatku berkeyakinan kalau ia benar-benar cinta padaku. Wow, cinta! Aku tersenyum sendiri, tapi perlahan hilang. Berbagai pertanyaan singgah di kepalaku. Apakah ia akan menerimaku? Apakah ia akan menjadi milikku? Apakah ia benar-benar menulis setiap SMS-nya dari hati? Ataukah ia akan meninggalkanku ketika melihatku yang sesungguhnya?

Ah, gila. Aku terlalu terobsesi padanya. Tangan kananku secara reflek menepuk pipiku beberapa kali, mencoba menyadarkan aku untuk menerima segala kenyataan yang terjadi, seburuk apapun. Aku harus tegar, janjiku. Aku menghempaskan tubuhku ke belakang, menatap langit-langit kamarku yang dipenuhi poster Bill Clinton, presiden terganteng yang membuatku megap-megap setiap saat melihat beritanya di TV.

“Rinda mau kemana?” tanya Dini padaku ketika jam kuliah baru saja usai. Ia melihatku bergegas menuju keluar ruangan.

“Mau ketemu pacar gue,” jawabku begitu antusias. Aku terlalu gembira sore ini. Aku lalu berlari menuju ke luar kampus. Sempat terlihat oleh ekor mataku, Dini yang menggelengkan kepalanya memperhatikanku.

Aku dan Rico janjian di Blok M Plaza jam lima sore. Aku turun dari bus kota dan setengah berlari menuju Plaza, karena jarum jam di tanganku sudah menunjukkan pukul lima kurang lima menit. Aku menuju ke tempat yang kami janjikan. Ku ambil saputangan dari tasku dan menggunakannya untuk menyeka keringat di leher dan keningku. Kepala dan mataku kompak melihat kesana-kemari, kiri dan kanan, atas dan bawah. Dia belum datang?

Aku menghubunginya melalui handphone-ku. Lama sekali, ia tidak mengangkatnya. Aku mencoba menghubunginya lagi, tapi tetap tidak diangkat, kecuali suara mailbox.

Dua jam aku menunggunya. Selama itu pula aku memperhatikan setiap orang yang lewat atau yang naik tangga-tangga eskalator. Mataku masih mencari sosok cowok gondrong, setidaknya itu katanya tentang rambutnya. Beberapa pasangan yang lewat di hadapanku, membuatku ingin menangis. Iri? Mungkin. Tiba-tiba, aku merasakan handphone-ku bergetar. Rico!.

“Rinda ada dimana?” tanyanya dengan suara terengah-engah. Lalu mematikan handphone-nya. Tuh anak, masih aja pelit pulsa.

“Di depan lift lantai lima?” jawabku ketika ia kembali menelpon, lalu kembali mati.

Perasaanku semakin tidak karuan. Aku memandang diriku sekali lagi pada sisi lift yang memang dapat memantulkan bayangan. Aku berkaca. Aku memastikan bahwa tidak ada yang salah yang lain dari diriku, selain yang memang sudah “salah”.

“Rinda, sori tadi telat,” sebuah suara mengagetkan ku dari belakang, suara yang tidak asing bagiku.

Aku membalikkan tubuhku dan melihat sosoknya, berbalut kemeja putih yang tak dikancing, t-shirt hitam dan celana jeans.

“Kenapa? Ini bener Rinda, kan?”

Aku terhentak. Baru kusadari bahwa aku melongo dari tadi.

“Eh, iya. Kenapa telat?” kataku perlahan.

“Sori, tadi macet banget. Aku juga nggak bisa ngangkat handphone, karena bisnya penuh, gak bisa gerak, kayak sarden,” ucapnya sambil tersenyum.

Oh Tuhan, terima kasih. Rico bukan hanya sekedar cowok romantis, tetapi dia jauh lebih keren dari bayanganku selama ini. Rambutnya memang gondrong sebahu, tetapi rapi, senyumnya lebih menawan dibandingkan Bill Clinton-ku dan gaya bicaranya masih tetap sama ketika di telepon, cuek tapi jujur. Tiba-tiba aku merasa bahwa aku cukup cantik, sehingga berani bertemu dengannya.

Dia mengajakku ke food court, kami terus berbicara dengan tergagap, karena memang seperti itulah setiap pertemuan pertama. Tak terasa sudah hampir dua jam lebih aku berhadapan dengan Rico di meja makan. Kami banyak mengobrol, sementara makanan di depan kami telah habis dari tadi. Ia berkali-kali melemparkan kata-kata dan humor padaku. Walaupun agak jayus, tapi aku selalu tertawa karenanya. Ku lihat di matanya, tidak ada rasa kecewa karena penampilan fisikku, ia seperti berhadapan dengan seorang perempuan cantik yang sesuai dengan bayangannya.

“Rico, kamu sebetulnya suka sama aku nggak, sih?” ucapku akhirnya. Kulihat sedikit raut wajahnya yang berubah.

Ia terdiam lama memperhatikanku. Lalu ia menghela nafas.

“Kenapa kamu berpikir aku suka sama kamu?” suaranya membuatku seperti terlempar jatuh ke jurang.

“SMS kamu itu?”

“Kenapa? Tapi itu bukan berarti aku suka sama kamu, terus jadi pacar kamu,” aku kembali merinding mendengarnya.

“Aku memang sayang sama kamu, karena kamu udah banyak buat perubahan banyak dalam diriku. Cuma sama kamu aku bisa jujur dalam segala hal, bahkan kita terlalu banyak mengenal pribadi satu sama lain. Aku nggak mau kita pacaran. Sempit sekali pikiran kamu kalau berharap kita bisa pacaran. Aku berharap, kita bisa tetap sahabatan selamanya, karena aku memang sayang kamu...sebagai sahabat dan kakak yang selalu jadi pengingat satu sama lain,” ucap Rico panjang lebar.

Aku tidak tahu perasaanku. Mungkin aku memang terlalu memikirkan yang tidak-tidak. Aku terlalu berharap dia menjadi pacarku.

“Aku pikir semua yang kamu tulis itu…,” aku tidak dapat meneruskan kata-kataku. Lidahku terlalu kelu untuk bicara.

“Aku udah bilang tadi dan udah jelasin semuanya. Pernah denger tentang sebuah mitos gak? Bahwa pacaran itu timbul karena emosi sesaat dan mudah dihancurkan oleh emosi sesaat pula. Udah jam setengah sepuluh nih. Rinda nggak mau pulang? Nanti kemalaman lho.”

Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Memang tidak seburuk dugaanku. Yah, setidaknya Rico tidak meninggalkanku diam-diam saat pertama melihatku. Tetapi hal ini sungguh diluar dugaanku.

Kami keluar dari tempat makan dan berjalan perlahan menuju pintu keluar.

“Rinda pulang lewat mana?” tanyanya sambil tersenyum. Ya ampun, seandainya ia tidak tersenyum seperti itu.

Aku hanya menjawabnya dengan isyarat lirikan mataku ke arah kanan jalan. Ketika aku hendak berjalan meninggalkannya, Rico mengikuti di belakangku.

“Aku cuma mau mastiin kamu baik-baik aja,” jelasnya ketika aku menoleh ke arahnya, seolah ia bisa mengetahui isi hatiku yang remuk redam.

Jadilah aku dan Rico berjalan menyusuri trotoar yang dipenuhi para pedagang kaki lima. Angin dingin dan udara lembab menerpaku. Kulihat ke arah langit, rembulan yang perlahan mulai tertutup awan hitam. Sesekali aku melirik ke arah Rico. Kasihan sekali cowok ini, pikirku. Seharusnya dia tidak bertemu dengan orang sepertiku. Seharusnya ia bertemu setidaknya yang jauh lebih baik daripada aku. Sedikit banyak, ia pasti menyesal telah mengetahui tampang asliku. Tapi ia pandai sekali menyembunyikannya, ia selalu berusaha tersenyum, walau aku tahu bibirnya tidak ingin seperti itu.

“Tuh kan, bisnya udah pada nggak ada. Tadi kenapa kita nggak ke terminalnya aja? Yuk, mendingan kita balik ke terminal. Siapa tau masih ada bisnya,” ujarnya.

Aku sekali lagi, tidak dapat berkata apa-apa. Aku mengikuti langkah-langkah kakinya, kini giliran aku yang mengekor. “Rico cowok baik, ya.” Hanya kata itu yang bisa terucap dari mulutku. Ia lagi-lagi tersenyum.

Sesampainya di terminal, ternyata bus yang hendak aku tumpangi memang sudah tidak ada. Rintik-rintik hujan mulai turun. Kulihat beberapa orang berlari dan mencari tempat teduh.

“Udah, kamu pulang aja duluan. Aku bisa naik taksi, kok,” harapku pada Rico. Rico menggeleng.

“Aku kan cowok, cuek aja. Kalo Rinda kan cewek, tar kalo ada apa-apa gimana?”

“Kayaknya aku nggak pulang deh, malam ini.”

“Cck, jangan ngomong macam-macam deh.”

“Nggak apa-apa. Kamu pulang duluan aja. Aku jadi nangis kalo liat kamu,” kataku sambil menghapus air mataku yang mulai meleleh dengan sapu tangan.

“Emangnya tampangku memelas, ya?” ucapnya sambil mengerutkan kening, lalu kembali tersenyum. Tapi aku yakin ia melihat air mataku.

Aku bukan menangisi sikapnya yang menolak untuk jadi cowokku tadi, tapi aku hanya menangisi diri sendiri. Aku mengasihani diriku sendiri, atas fisikku yang minus dan atas pikiran-pikiranku yang selama ini jauh di atas kenyataan sekarang. Benar kata dia, sempit.

Tadi aku begitu senang untuk menantinya, sekarang aku malah menangis di hadapannya. Bagus.

“Aku yang salah, Rico. Tadinya aku pikir kamu adalah harapanku, mimpiku, bahkan mungkin jodohku. Tapi aku sadar, aku ngaca, siapa aku. Mungkin ini adalah pertama dan terakhir kalinya kita ketemu, aku nggak sanggup hadapin semua ini.”

Air mataku semakin mengalir deras, sederas hujan. Aku tahu Rico hendak angkat bicara, tetapi aku buru-buru menyambungnya.

“Kamu pulang, ya. Rumah kamu kan lebih jauh daripada aku. Hujan nih, nanti kamu sakit, lho,” ujarku pura-pura tabah.

Tampak sedikit rasa kecewa dan kasihan di wajah Rico. Ia terdiam dan menatapku. Aku kikuk. Ia hendak angkat bicara lagi. tapi aku melihat sebuah taksi yang kosong menuju ke arah kami.

“Udah, ya. Terima kasih, kamu udah mengisi hari-hariku terakhir ini. Aku sayang kamu, tolong jangan sakitin cewek lain kayak aku. Please... Ini yang terakhir kita ketemu. Bye!”

Rico berusaha mencegahku, tapi aku keburu masuk ke dalam taksi. “Ini bukan yang terakhir!” serunya kecewa dengan sikapku.

Aku menangis deras, sederas hujan. Rico nggak salah, aku yang terlalu pe-de. Aku sayang Rico, tapi aku juga sekaligus benci dia.

Sebuah persimpangan jalan. Taksi yang kini ku tumpangi melaju cepat, sesaat kulihat sebuah truk pengangkut sapi yang juga berlari cepat... tepat ke arahku.

Ya, ini yang terakhir….

***

Jakarta, 1 Desember 2003

Evelyn



-©-

Mungkin engkau tidak mendengar deru musik tambur itu

atau bagaimana dedaunan yang menepuk waktu.

(Jalaluddin Rumi)

Pukul 15.35 dan kereta yang kutunggu belum juga tiba. Berpuluh kali lipat orang yang menunggu sepanjang peron, mengharapkan hal yang sama denganku. Bersama seorang nenek dengan lima kantong plastik besar barang belanjaannya, seorang lelaki berkacamata tebal dengan koran yang diselipkan di ketiaknya ¾sementara matanya terus memandangi arah datang kereta, serta seorang perempuan dengan tank top, celana kargo dan rambut warna hijau, aku duduk di bangku besi yang telah berusia puluhan tahun. Stasiun Jakarta Kota memang telah makan asam garam kehidupan negeri ini, sejak pemerintahan Belanda, Jepang, hingga Indonesia. Namun, kekokohannya masih terlihat nyata, rangka-rangka bajanya seolah mengisyaratkan ia akan mampu bertahan lebih dari seribu tahun lagi, begitu monumentalnya.

Tiba-tiba, di tengah penantianku yang mulai melelahkan, seseorang menginjak kakiku. Ahh! Kemana matanya? Keterkejutanku mengalahkan segalanya, padahal mungkin aku tidak merasakan sakit karena diinjak. Tetapi aku terlanjur menggeram dan segera ku pelototi si penginjak. Seorang gadis berseragam putih abu-abu tertunduk dengan muka menyesal, sementara mulutnya mengucapkan maaf berkali-kali. Di sampingnya, seorang pemuda yang juga berseragam putih abu-abu turut mengutarakan permohonan maafnya padaku atas kesalahan gadis itu.

“Sudahlah, pergi sana,” ucapku kesal.

“Sekali lagi maaf ya, Bang.”

“Iya, sudah sana!”

Mereka pun meninggalkanku dengan rasa bersalah, kupikir. Aku memperhatikan kepergian mereka, yang berpegangan tangan erat! Mereka kembali menoleh ke arahku dengan bersamaan, tampaknya mereka takut aku berbuat macam-macam. Segera saja ku alihkan pandanganku. Ketika aku mencuri pandang ke arah mereka lagi, mereka telah kembali berjalan, masih berpegangan tangan.

Manis sekali. Kupikir ini adalah momen terindah mereka. Aku jadi teringat Evelyn. Ah, kemana gadis itu sekarang. Aku ingat ketika pertama kali memberikannya setangkai bunga mawar jingga, yang kemudian itu menjadi kesukaannya. Entah sekarang. Aku memberikannya seraya memintanya untuk menjadi kekasihku dan ia menerimanya, kala itu kami sama-sama kelas dua SMA. Untuk orang yang baru kali pertama merasakan cinta, itu membutuhkan keberanian yang besar. Picisan mungkin, tapi itulah.

Aku dan Evelyn suka kereta, kami sering memanfaatkan waktu liburan kami dengan kereta, bahkan tanpa tujuan yang jelas sekalipun. Ia begitu cantik, --bukan keretanya, tapi Evelyn¾ terlebih saat peluh membasahi dahinya ketika kami berdesakan di dalam gerbong yang penuh sesak. Dan ia memelukku erat. Lima tahun hanya terasa seperti sebuah kerlingan singkat bagiku. Semua berlalu begitu cepat, tanpa akhir.

Sebuah pertengkaran hebat terjadi, dua tahun yang lalu. Penyebabnya hanyalah masalah sepele, aku melupakan ulang-tahunnya yang jatuh pada hari itu. Entah kenapa, ia menjadi berang sekali, padahal aku sudah meminta maaf.

“Aku bingung sama kamu, kenapa bisa lupa ulang-tahunku? Sebelumnya tidak pernah. Ada apa dengan kamu sebenarnya?”

“Kamu yang ada apa? Kenapa hanya masalah sepele seperti ini lantas kamu jadi marah-marah?”

“Sepele kata kamu?! Kamu selalu menyepelekan hal-hal besar sekalipun. Kamu nggak pernah berpikir untuk coba melihat dari sisi lain, dari sisiku.”

“Terserah kamu, aku sudah minta maaf tadi.”

“Terserah kamu juga, aku mau pulang.”

“Silahkan, emang tau jalan pulang?”

“Aku benci kamu!”

Maka ia pun meninggalkan aku yang sendirian di bangku ini, menunggu kereta tujuan Bogor yang beberapa saat lagi tiba. Ia benar-benar pergi, meninggalkanku. Apa yang ada di pikiran gadis itu? Mengapa ia bisa menjadi begitu marah, toh aku sudah minta maaf.

Aku sempat melihat derai air matanya yang jatuh dari matanya saat ia hendak berbalik meninggalkanku. Aku juga sempat melihat ia mendorong petugas pengontrol karcis di pintu keluar, hingga lelaki tua itu terhuyung ke belakang dan akhirnya terjatuh. Kereta itu akhirnya tiba. Tapi, apakah aku harus menaikinya? Tanpa Evelyn?

Maka, aku membiarkan orang-orang itu berdesakan masuk dan sebagian lagi berusaha untuk keluar. Keriuhan itu begitu memenuhi rongga pendengaranku, hingga aku tidak sempat mendengar seruan-seruan tertahan itu, suara-suara histeria itu, suara jeritan memilukan itu dan suara ban yang berdecit mengilukan itu.

Evelyn tewas dalam hitungan menit. Sementara, pengemudi sepeda motor itu segera melarikan diri. Tidak ada yang berhasil mencegahnya, tidak ada yang sempat mencatat plat nomornya, tidak ada yang berbuat apa-apa. Entah bagaimana aku sudah berada di sisi tubuhnya yang berlumuran darah dan ia secara samar mengucapkan kata terakhirnya, “Aku benci kamu.” Lalu terkulai lemah. Entah bagaimana juga, aku kemudian berada di ruangan yang serba berwarna putih, di atas ranjang rumah sakit. Kepalaku pening, aku terlalu lelah untuk berpikir. Aku hanya bisa memikirkan satu, aku menyesal.

Mungkin tidak seharusnya aku mengkhianatinya. Aku seharusnya tidak tergoda dengan Mira, perempuan yang kutemui di acara bachelor party itu. Aku seharusnya melupakannya, bukan malah melanjutkan hubungan yang terlalu jauh dengannya. Aku seharusnya tahu, kalau Evelyn pasti bisa merasakan apa yang ku rasakan. Bahwa kami terlalu identik dalam hal perasaan, hingga ia bisa merasakan apa yang tersirat di dalam hati dan menyentuh emosi yang tidak terluapkan, begitu juga aku. Kami tidak tahu, kenapa bisa seperti itu. Dan pastinya, Evelyn pun merasakan perihal ketidaksetiaanku.

Kesalahanku memang terlalu berat, aku telah mereguk anggur terlalu jauh dengan Mira. Aku tahu kalau aku ini bajingan, cecunguk yang memanfaatkan kesempatan terkecil sekalipun. Aku telah memperburuk keadaan dan mengubah kehidupan yang harusnya bisa terus berdenyut. Aku menyesal sekali. Maka, aku tidak menemui Mira lagi atau yang berhubungan dengannya setelah itu. Sehingga, aku membiarkan jiwaku hampa tanpa peri kecilku. Haus akan kasih yang pernah ditawarkan Evelyn. Rindu akan rasa mabuk yang dulu memaksa peleburan jiwaku.

Aku juga masih ingat ketika rambutnya yang hitam panjang sebahu itu tergerai dan menari dibelai angin, bagaimana bulu matanya yang lentik itu mengikuti kelopaknya mengerjap-ngerjap saat manahan silau dan menyetubuhi bola matanya yang bening, juga bagaimana bibirnya yang mungil merekah dan selalu basah itu mengecupku perlahan dalam keremangan senja. Betapa banyak kenangan yang tercipta bersamanya, betapa tak terhingga waktu yang terlampaui oleh cinta dan semua itu hanyalah buah kisah di masa lalu. Sekarang kenyataannya adalah aku duduk di bangku yang sama ketika kami berpisah dan di sampingku bukanlah Evelyn lagi, tapi orang-orang aneh yang tidak aku kenali.

Pukul 16.10 dan kereta yang aku tunggu bersama lusinan kepala di peron ini belum juga tiba. Entah butuh kesabaran yang bagaimana lagi untuk membunuh rasa bosan. Entah butuh waktu yang berapa bilangan lagi untuk sebuah penungguan. Semua orang mulai letih dalam kegelisahan, menunduk pasrah atau mengumpat sekotor mungkin dalam stasiun yang penuh sesak manusia, barang dan binatang.

Tidak hanya kereta tujuanku yang terlambat, tujuan yang lainpun begitu. Ada apa ini? Ada apa dengan gerbong-gerbong harapan itu? Beberapa orang mulai meninggalkan stasiun, mencari alternatif angkutan lain. Apakah aku harus tetap menunggu? Tampaknya aku tak punya pilihan, selain menunggu dan menikmati penungguan ini.

Nenek dengan plastik-plastik penuh belanjaan di sampingku mulai beranjak pergi, begitu pula dengan lelaki berkacamata tebal itu. Pukul 16.20 dan terdengarlah pengumuman dari corong-corong itu, bahwa kereta akan segera bergiliran tiba. Ketika lokomotif kereta mulai tampak, aku bersiap bangkit. Tapi, perempuan serba hijau di sampingku itu belum beranjak. Rupanya ia tertidur. Aku menyentuh bahunya dan ia pun segera terbangun, menampik tanganku dengan refleks. Aku terkejut seketika.

Ia tampaknya menyadari bahwa aku tidak bermaksud lain kecuali hanya membangunkannya. “Maaf, terima kasih,” hanya itu kata yang keluar dari mulutnya, kemudian ia berlari menuju kereta dan bergabung dengan calon penumpang yang lain. Tubuhnya yang berbalut pakaian dan asesoris bernuansa hijau itu, tampak menyolok di antara penumpang lain. Sementara, aku masih terkejut, tidak mempercayai apa yang barui saja aku lihat dengan mata kepala sendiri. Evelyn.

Ia begitu mirip dengan Evelyn. Ketika ia mulai menghilang di tengah keramaian, aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan cepat, mencoba mengalihkan pikiranku yang melulu Evelyn. Tapi tadi itu benar, aku tidak mungkin memungkiri penglihatanku sendiri, ia mirip sekali dengan Evelyn.

Corong pengumuman memberitahukan bahwa kereta tujuanku akan segera berangkat. Aku pun segera berlari mengejar kereta yang mulai beranjak pergi. Kali ini aku tidak mau kehilangan kesempatan. Tidak untuk yang kedua kalinya.


***


Jakarta, 28 Oktober 2004