27/03/08

Don't Leave Your Friends

A man and his dog were walking along a road. The man was enjoying the scenery, when it suddenly occurred to him that he was dead.He remembered dying, and that the dog walking beside him had been dead for years. He wondered where the road was leading them.

After a while, they came to a high, white stone wall along one side of the road. It looked like fine marble. At the top of a long hill, it was broken by a tall arch that glowed in the sunlight. When he was standing before it he saw a magnificent gate in the arch that looked like mother-of-pearl, and the street that led to the gate looked like pure gold. He and the dog walked toward the gate, and as he got closer, he saw a man at a desk to one side.

When he was close enough, he called out, "Excuse me, where are we?"

"This is Heaven, sir," the man answered.

"Wow! Would you happen to have some water?" the man asked.

"Of course, sir. Come right in, and I'll have some ice water brought right up."

The man gestured, and the gate began to open.

"Can my friend," gesturing toward his dog, "come in, too?" the traveler asked.

"I'm sorry, sir, but we don't accept pets."

The man thought a moment and then turned back toward the road and continued the way he had been going with his dog.After another long walk, and at the top of another long hill, he came to a dirt road leading through a farm gate that looked as if it had never been closed. There was no fence As he approached the gate, he saw a man inside, leaning against a tree and reading a book.

"Excuse me!" he called to the man. "Do you have any water?"

"Yeah, sure, there's a pump over there, come on in."

"How about my friend here?" the traveler gestured to the dog.

"There should be a bowl by the pump."

They went through the gate, and sure enough, there was an old-fashioned hand pump with a bowl beside it.

The traveler filled the water bowl and took a long drink himself, then he gave some to the dog.

When they were full, he and the dog walked back toward the man who was standing by the tree.

"What do you call this place?" the traveler asked.

"This is Heaven," he answered.

"We ll, that's confusing," the traveler said. "The man down the road said that was Heaven, too."

"Oh, you mean the place with the gold street and pearly gates? Nope. That's hell."

"Doesn't it make you mad for them to use your name like that?"

"No, we're just happy that they screen out the folks who would leave their best friends
behind."

25/03/08

Berdiri Di Tengah Hujan

Bulir-bulir hujan tadi kini berubah menjadi derai-derai air mata langit yang turun deras menerpa kepalaku. Aku tahu benar bagaimana rasanya dibohongi, diperlakukan semena-mena dan diberi minum air sabun. Bahkan, aku tahu benar bagaimana caci maki menjadi menu utamaku setiap pagi. Aku mencoba sabar, berharap esok akan lebih baik dan semua ketakutanku akan terbayar dengan senyuman. Tapi kenyataannya, hari ini kau pergi. Aku sendiri kau tinggalkan tanpa secarik pesan kecil berisi kata-kata kasar di lemari pendingin seperti kemarin atau kemarinnya lagi.

“Ia akan baik-baik saja,” ujar seorang bertubuh gempal di sebelahku yang sama sekali tak kukenal. Ia menggunakan payung besar warna merah untuk menahan hujan. Aku menjadi teduh karenanya.

“Tidak, aku yang akan baik-baik saja, bukan?”

“Yah, itu juga,” ia tersenyum.

Aku memang akan baik-baik saja, tapi aku pasti akan sangat rindu denganmu nanti. Seorang perempuan di tandu tak berdaya menuju ambulance.

Tempat ini kemudian menjadi sangat ramai dan terdengar beberapa gunjingan tentang bagaimana ibu menganiaya aku. Ya, hanya aku. Itu dia yang membuatku tak habis pikir. Dan aku menjawabnya hari ini.

“Selamat tinggal ibu,” ucapku lirih.


***

Jakarta, 20 Maret 2008

3:10 TO YUMA, Ketika Hati Bicara

Saya menangis di menit-menit terakhir. Adegan Dan Evans (Christian Bale) ketika ‘melarikan’ Ben Wade (Russel Crowe) menuju stasiun kereta api. Mereka harus melewati terjangan peluru yang bertubi-tubi ke arah mereka. Film yang disutradarai oleh James Mangold ini sungguh menghadirkan efek psikologis yang menghentak di diri saya.

Film ini bererita tentang tertangkapnya buronan bernama Ben Wade yang sering ‘menyusahkan’ orang-orang berduit. Bersama beberapa anak buahnya yang kejam, mereka merampok sana-sini. Suatu ketika ia tertangkap dan dirinya terancam hukuman gantung di penjara Yuma. Seorang veteran perang Dan Evans yang kini menjadi petani berniat untuk mengawal dan memastikan Wade sampai ke stasiun Yuma pukul 3:10 esok hari. Ya, sebuah kereta akan tiba dan kemudia mengantarkan buronan itu ke penjara. Tidak hanya Evan sendiri, ada beberapa orang lain yang juga menjadi 'pengantar' Wade. Bukan apa-apa, namun sekedar untuk berjaga-jaga memastikan bahwa tidak ada anak buah Wade yang mengacau rencana mereka di tengah jalan.

Di dalam perjalanan, Evan dan Wade saling mengenai satu sama lain. Dua karakter yang berbeda itu kini tengah menyelami sisi psikis lawannya. Sementara itu, satu-persatu rekan seperjalanan mereka gugur satu persatu. Berhasilkah Evan memenuhi janjinya untuk membahagiakan keluarganya dengan uang yang di dapat dari pekerjaan ini?

Selain adegan baku tembak khas koboi dan pemandangan alam Amerika yang gersang pada masa itu, kita juga dihadapkan pada sisi psikologis para tokoh utamanya. Hal inilah yang mungkin tidak dieksplorasi di film-film dengan genre sejenis. Ketenangan karakter Wade yang dimainkan oleh Russel Crowe membuat lawan mainnya, Evan, menjadi penuh waspada. Kewaspadaan itulah yang membuat perbenturan karakter antar keduanya menjadi terbangun. Siapa yang menyangka dibalik keberanian Evan yang luar biasa, ia menyimpan kerapuhan dan permasalahan keluarga.

Satu hal yang unik adalah, jadwal kereta di sana sangat tepat. Saya jadi membandingkan dengan kereta Bogor-Jakarta saat ini, sangat miris.

THE SPIDERWICK CHRONICLES, Jangan Abaikan Larangan Yang Ada

Akankah The Spiderwick Chronicles menjadi jawara dalam jajaran box office? Semoga saja nasibnya tidak seperti The Golden Compass atau The Seeker yang terpuruk belakangan ini. Memang pasca Harry Potter dan The Lord of The Ring, genre adventure-fantasy seakan dihidupkan kembali. Namun, tidak semua berhasil mengungguli kedua film raksasa tersebut.

Harapan positif sebenarnya banyak muncul untuk film The Spiderwick Chronicles, termasuk saya. Ceritanya cukup sederhana dan kemasannya juga menarik. Berawal dari keluarga Grace yang pindah ke sebuah rumah milik buyut mereka, Arthur Spiderwick. Si kembar Jared dan Simon Grace (Freddie Highmore), Mallory (Sarah Bolger) dan ibu mereka, Helen Grace (Marie Louise Parker) memang sengaja pindah ke rumah tersebut setelah perceraian yang terjadi antara Helen dengan sang suami.

Jared yang sering dianggap pembuat masalah, segera menjelajahi rumah. Ia mendapati sebuah buku yang disegel di dalam sebuah peti besar. Ketika ia membukanya, beberapa kejadian aneh dan berbahaya pun segera memburu mereka. Awalnya Simon dan Mallory tidak percaya, lebih-lebih karena Jared terkenal sering membuat onar, namun ketika kenyataan bahwa mereka diserang secara fisik oleh makhluk-makhluk tak kasat mata bernama Goblin, mereka barulah percaya. Selanjutnya sudah bisa ditebak, perjuangan melawan kekuatan para makhluk fantasi berlangsung hebat. Kunci dari itu semua ternyata ada di buku yang Jared ambil, yang merupakan tulisan Arthur Spiderwick. Buku yang mengungkap berbagai makhluk fantasi yang luput dari perhatian manusia.

Film ini diambil dari buku dengan judul yang sama, The Spiderwick Chronicles, karya Toni DiTerlizzi dan Holly Black yang diterbitkan dalam beberapa seri. Bukunya unik, saya suka, dengan banyak gambar yang menjelaskan cerita itu sendiri. Filmnya sendiri dengan taat mengikuti cerita dan alur di buku, tampaknya para filmmaker ini tidak mau mengambil spekulasi yang aneh-aneh, mengingat resiko yang cukup telak bila gagal.

Khusus untuk permainan Freddie Highmore, ia tampak apik bermain sebagai dua karakter si kembar jared dan Simon. Aktor pemeran Charlie di film Charlie and The Chocolate Factory ini juga mengakui di sebuah wawancara bahwa ia senang bermain di film terbarunya ini, ia juga berkata bahwa untuk bertemu dengan makhluk fantasi, anak-anak tidak perlu harus bermimpi. [heripurwoko]

19/03/08

LIONS FOR LAMBS

Apa jadinya kalau kita terperangkap di tengah sebuah keadaan yang menjemukan, di mana kita tidak bisa merubah keadaan itu. Stuck. Bahkan, tidak jarang kita akan merasakan frustasi atau depresi. Hal inilah yang menjadi tema Lions For Lambs garapan Robert Redford. Redford yang juga duduk di kursi sutradara mengatakan bahwa inilah yang dapat ia lakukan untuk Amerika Serikat. Ia sangat mencintai negaranya tersebut. Ia ingin membuat perubahan dan melempar fakta bahwa ada sekelompok kecil orang di negara itu yang ingin merubah paradigma buruk Amerika di mata dunia. Namun sekali lagi, mereka terperangkap dalam sistem. Yup, selamat datang di lingkaran setan.

Lions For Lambs bercerita tentang tiga peristiwa. Dua mahasiswa Universitas West Coast, Arian (Derek Luke) dan Ernest (Michael Pena) terjun ke medan perang di Afghanistan. Mereka tampaknya terinspirasi oleh dosen mereka, Dr. Malley (Robert Redford), yang dulu sempat berlaga di perang Vietnam. Arian dan Derek adalah mahasiswa cerdas dan bertekad ingin membuat perubahan. Setidaknya, menurut versi mereka, jika mereka bisa kembali dari Afghanistan, status mereka akan meningkat. Nah, kalau sudah begitu, omongan serta perlaku mereka bisa dihargai oleh bangsa Amerika. Mereka yakin hanya dengan cara itulah suara hati mereka bisa didengar.

Dr. Malley sendiri kini menghadapi seorang mahasiswa berandal bernama Todd (Andrew Garfield), yang dinilai cukup cerdas, pandai berbicara dan mengemukakan pendapat, tetapi tidak disiplin. Todd ditegur sekaligus diberi peringatan oleh Malley supaya melanjutkan kuliah atau ia akan mendapat nilai tanpa harus ikut kuliah lagi. Todd ber-argumen bahwa untuk apa ia belajar jika sistem pemerintahan yang ada sangat tidak patut dicontoh. Todd sangat tidak respect terhadap pemimpin di Amerika yang beranggapan bahwa Amerika adalah polisi dunia dan bertanggungjawab terhadap perdamaian dunia. Todd tidak menganggap itu sebagai tindakan seorang manusia dewasa, tidak lebih dari sekedar ego dan ambisi semata. Mahasiswa dan dosen itu terlibat perdebatan serius, mulai dari Plato-Socrates sampai George W. Bush.

Di sisi lain, seorang jurnalis senior televisi bernama Janine Roth (Meryl Streep) mendapatkan wawancara ekslusif dengan Senator Jasper Irving (Tom Cruise). Irving yang mengincar kursi yang lebih bagus di pemerintahan, ingin agar media meng-ekspose perkembangan Afghanistan. Karena Amerika telah mengirim tim kecil untuk menaklukkan negara (yang menurut mereka) teroris tersebut. Janine dan Irving beradu pandangan mengenai kondisi Amerika kini. Irving mengungkapkan betapa bangganya ia kalau bisa membentuk perdamaian, walaupun dengan cara perang dan dibenci sebagian orang. Irving selalu beranggapan bahwa yang Amerika lakukan untuk kebaikan. Namun Janine tidak melihat sisi tersebut, ia justru berpendapat bahwa pemerintah terlalu tergesa-gesa dan ceroboh dalam melakukan tindakan. Perang bukanlah suatu hal yang bisa dijadikan pride. Janine sebagai perwakilan media diharap bisa membantu pemerintah dalam menentukan opini publik. Hal itulah yang menjadi dilema bagi Janine kini.


Film ini sangat kuat dari segi tema, namun terasa terlalu banyak dialog. Kita seperti menonton acara dialog yang penuh perdebatan. Redford tampaknya mengeluarkan energi yang sangat banyak untuk film ini. Terlihat dari intens dan semangatnya di lokasi syuting, juga fokusnya pada naskah. Overall, Lions For Lambs menjadi alternatif yang layak diperhitungkan, terlebih lagi tema yang diangkat sangat up to date. Tetapi masalahnya, saya merasa ini adalah sebuah sisi kesia-siaan, pesimistik dan hanya sekedar pelemparan masalah ke tengah-tengah audience. Tidak ada nilai patriotik atau setitik cahaya harapan bagi Amerika.

Lions For Lambs mungkin hanya sebuah potret mengenai sebuah negara besar bernama Amerika yang terjerat oleh rantai sistem masa lalu yang tidak mungkin mereka pecahkan. Konklusi ini dapat saya rasakan setelah mengetahui ending cerita. Kita akan melihat bagaimana akhir dari scene Todd, Janine dan Arian-Derek. Kita akan melihat bagaimana hasil akhir usaha mereka untuk sebuah perubahan. [hp]

JUMPER


"Seharusnya hanya Tuhan yang punya kemampuan seperti kalian, berada di mana-mana dalam satu waktu," kata Roland sebelum membunuh salah seorang jumper di Asia.

Petikan kata-kata di atas menurut saya merupakan inti dari film Jumper, arahan sutradara Doug Liman. Jika anda tahu Doug Liman yang pernah membuat 'Bourne Identity' dan 'Mr & Mrs. Smith' ini, pasti sudah terbayang bagaimana style-nya dalam menyutradarai. Di film Jumper, permainan special efek dan teknik penceritaannya saya acungi jempol. Tidak berlebihan menurut saya, karena memang itu yang saya rasakan ketika menonton film berdurasi 88 menit ini.

Cerita berawal dari David Rice muda yang tenggelam di sungai, beberapa saat kemudian, ia sudah berada di perpustakaan dalam keadaan basah kuyup. David awalnya tidak mengerti hal tersebut, sampai kemudian ia mengalaminya lagi. Ayahnya yang berang mengejar David sampai ke kamarnya, seketika David sudah berada di tempat lain. Rupanya ia mengerti, ia bisa melakukan teleport, berpindah tempat dalam sekejap.

David muda lalu mempunyai pikiran nakal yang kenyataannya akan membawa dia ke pangkal permasalahan dari film ini. Ia membobol brankas bank. Dengan mudahnya, ia mengambil uang ke dalam karung dan kemudian menaruhnya di dalam kamar, begitu seterusnya hingga kamar itu penuh dengan dollar. David menjadi kaya mendadak. Ia pun bisa berwisata ke berbagai belahan dunia dengan sekejap mata.

Beberapa tahun kemudian, David (Hayden Christensen) dikunjungi Roland (Samuel L. Jackson) di apartemen mewahnya. Itulah awal konflik antara David dengan kaum Paladin, pemburu para jumper. Roland hendak menahannya, tapi David berhasil kabur. Di tengah pelariannya, David bertemu dengan Griffin (Jamie Bell) yang tengah berjuang keras seorang diri melawan Paladin. Awalnya, Griffin tidak mau 'ditebengi', tapi karena memaksa akhirnya David pun boleh ikutan. Peperangan diantara kedua belah pihak tak terelakkan, sampai membawa serta Emily Harris (Rachel Bilson), kekasih David.

Kisah mengenai teleport tentunya tidak asing, setelah kemunculan para teleporter di beberapa seri Star Trek, Nightcrawler di film X-Men dan Alicia Baker di Smallville, tampaknya ide tentang teleporting menjadi cepat populer. Siapa pula yang tidak mau punya kelebihan seperti itu? Anywhere is possible, is that something impossible?

Film yang diangkat dari novel karya Steven Gould ini cukup memanjakan mata dengan disuguhkannya gambar-gambar yang 'nakal', seperti ketika David berjemur di kepala Sphinx. Special efek yang ada juga tampak tidak berlebihan, semua sesuai porsinya. Satu hal yang membuat saya bingung adalah mengenai para jumper, kemana para jumper yang lainnya? Bukankah banyak jumlahnya? [heripurwoko]

18/03/08

ALVIN and THE CHIPMUNKS


Ingin sebuah tontonan yang lucu? Atau kangen sama karakter kartun tupai-tupai nakal tahun 80-an? Tonton aja Alvin and The Chipmunks. Menggelikan, tentu saja. Setelah ada karakter kucing di Garfield atau anjing di Scooby Doo, kini saatnya tupai yang beraksi di Alvin and The Chipmunks. Ada Alvin yang nakal namun pintar, Simon yang sifatnya lebih dewasa dan tidak bisa melihat jelas tanpa kacamata, juga ada Theodore si tupai gemuk yang manja dan plin-plan.

Alvin, Simon dan Theodore adalah ketiga tupai yang mendatangi rumah Dave Seville (Jason Lee) dan membuat kekacauan. Alhasil, Dave pun berperang dan sukses dibuat pingsan dalam ‘peperangan’ tersebut. Ketika siuman, Dave mengetahui bahwa tupai-tupai itu ternyata bisa bicara. Karena sudah terlanjur kesal, akhirnya Dave mengusir mereka. Keputusan Dave segera berubah setelah mengetahui ketiga tupai itu jago bernyanyi. Dave pun mengajak mereka untuk bekerja sama, karena kebetulan Dave juga berkecimpung di bidang musik. Melalui rangkaian perjuangan menembus dapur rekaman, mereka akhirnya sukses. Dave yang mencipta lagu, Alvin-Simon-Theodore sebagai penyanyinya. Alvin and The Chipmunks pun menjelma menjadi artis yang layak diperhitungkan. Lagu-lagu mereka menjadi nomor satu dan show-show mereka selalu dinanti. Masalah mulai muncul tatkala bos perusahaan rekaman yang bernama Ian Hawk (David Cross) mulai mengintimidasi Dave dan menghasut Alvin, Simon, juga Theodore untuk meninggalkan Dave. Ketika ketiga tupai itu menanyakan kepada Dave mengapa tidak mengizinkan mereka untuk tur di luar negeri, Dave berkata bahwa mereka cuma anak-anak yang belum bisa untuk menjadi superstar. Alvin pun berang, ketiganya lalu meninggalkan Dave dan tinggal bersama Ian.

Keputusan para tupai itu membuat sontak hidup mereka berubah. Mereka kini benar-benar merasakan bagaimana menjadi superstar yang dielu-elukan. Hari-hari mereka dipenuhi oleh jadwal konser yang padat, syuting iklan, rekaman, launching ini, launching itu, dan lain sebagainya. Kalau mereka terlihat lelah, maka Ian akan segera memberinya dopping atau energi ekstra. Mereka dipaksa untuk terus bekerja. Kehidupan mereka praktis tanpa istirahat. Kehidupan anak-anak yang seharusnya mereka jalani menjadi hilang. Itulah sebenarnya yang Dave takutkan. Akhirnya, Dave dibantu oleh kekasihnya, Claire (Cameron Richardson), berusaha menyelamatkan Alvin dan kawan-kawan. Apakah bisa? Terlambatkah mereka?

Film berdurasi 91 menit ini merupakan adaptasi dari serial kartun era 1980-an. Secara keseluruhan, film ini sarat akan muatan pendidikan yang bagus. Pertama adalah, bahwa tidak seharusnya anak-anak dieksploitasi dan kedua adalah, menjalani hidup tanpa berlebihan. Tema pentingnya persahabatan dan keluarga juga menjadi issue berikutnya. Jon Vitti dan Will Mcrobb sebagai duet penulis skenario tampaknya berhasil mengangkat isue yang sedang marak di dunia ini. Animasi ketiga tupai-tupai cerdik itu juga sangat apik, detail dan hidup. Di film ini, selain tingkah-tingkah lucu, kita juga akan mendapatkan lagu-lagu bagus dan catchy. So, kalau kamu bingung mau nonton film apa minggu-minggu ini, Alvin and The Chipmunks bisa menjadi pilihan yang baik. Iya dong, daripada nonton film-film horor dan misteri yang nggak jelas juntrungannya. Iya, nggak? [hp]

Lari Untuk Menang

Sejenak, di sela-sela batang rerumputan basah, seekor jangkrik bersembunyi dari kejaran beberapa anak manusia. Jantungnya berdegup kencang. Ia memang berhasil melarikan diri, tapi anak-anak manusia itu sudah terbiasa menangkap para jangkrik. Setelah ditangkap, biasanya jangkrik akan diadu dengan sesamanya. Atau paling beruntung, jangkrik-jangkrik itu dimasukkan ke dalam kandang bambu sekedar untuk dipelihara dan didengar suaranya, sampai mati. Namun jangkrik yang satu ini tidak mau menerimanya, ia tidak rela nyawanya disabung dengan cara seperti itu. Sekedar untuk meninggikan martabat? Atau karena ia merasa punya hak untuk hidup lebih lama? Tidak. Lalu apa alasannya? Jangkrik ini hanya tidak ingin harga dirinya diinjak-injak dan tunduk pada manusia yang katanya makhluk superior itu.

Seketika, jangkrik pemberani ini menemukan cara untuk lari, bukan dari masalah, tapi ke arah sebaliknya. Jangkrik ini berlari mencari perhatian anak-anak manusia itu. Ya, anak-anak manusia itu melihatnya, lalu mengejar dengan suara yang ramai. Jangkrik terus berlari, melompat dan melesat, ke arah semak berduri. Dari kejauhan, terdengar suara teriakan-teriakan mengaduh beberapa anak manusia.


***

Jakarta, 14 Februari 2008

MATAHARI, TULIP dan LILY

I
Aku sangat mencintaimu
Sebisa mungkin membelai lekuk tubuhmu selalu
Juga mengecup segenap kelopakmu
Sanggupkah kau akan hasratku?

Aku sangat merindukanmu
Bahkan ketika peluhku bersemai benih cinta yang lain
Juga segenggam mahkota yang selalu memintaku kembali
Hingga mimpi yang teriris pelepah kesalahan

Satu hal, akankah kau mengerti?
Sampai sedalam mana ku terluka



II
Aku kini terjebak di tengah buih pasir
Di ujung karang yang menambah biru perihku
Kau melihatku
Ya, jelas kau melihatku

Dimana janjimu empat belas tahun lalu?
Berjalan dengan mata tertutup, hingga terjatuh dalam kubangan
Satu jejak disesapi dua langkah
Hingga memerah bulan di ujung kepala

Masihkah kau ingat?
Sampai habis desau nafas ini



III
Kuharap kau masih seputih dulu
Tanpa bercak dan jejak lain
Selain aku
Cukup, hanya aku

Aku kini berubah menjadi bayang semu
Yang menurutmu selalu mengikutimu
Padahal sumpah mati aku tidak melakukannya
Apalagi menyiakan waktu untuk itu

Sampai kapan kau di situ?
Hingga terbit matahari lagi?


***

Jakarta, 18 Februari 2008

HATIMU TAK LAGI DI SINI

Ketika kau pergi, yang kurasa hanya tiada. Bahkan hatiku tak juga kehilangan meski sebenarnya aku ingin merasakan itu. Jangan bertanya mengapa aku tidak merasakannya, tapi tanyalah pada dirimu sendiri mengapa aku sampai tidak memikirkanmu sama sekali.

Kenyataan bahwa kau meninggalkanku tanpa alasan adalah salah satunya. Kau membuatku berpikir bahwa itu salahku. Kau tahu, aku sampai berhari-hari membiarkan tubuh ini dimakan rayap. Rapuh. Sampai hampir rebah mencium tanah.

"Maaf..."

"Untuk apa minta maaf?"

"Karena telah membuatmu dimakan rayap."

Begitu ujarmu. Aku pun tersenyum dengan senyum paling sempit seluruh dunia.

"Bukan, aku dimakan rayap bukan karena dirimu, tapi karena pilihanku sendiri."

"..."

Kau diam. Aku sarkastik.



***

Jakarta, 12 Maret 2008

FROM BANDUNG WITH LOVE

Perjalanan seseorang memang tidak bisa dengan mudah diprediksi. Tampaknya hal inilah yang menjadi topik utama yang saya dapat dari film arahan Henry Adianto. From Bandung With Love adalah film drama cinta remaja yang diharapkan akan mengisi kekosongan pada genre tersebut akhir-akhir ini.

Cerita dimulai ketika Vega (Marsha Timothy) memutuskan untuk membahas masalah perselingkuhan dan kesetiaan dalam siaran radionya minggu depan. Dia muncul dengan teori bahwa 11 dari 10 lelaki itu tidak setia. Usaha Vega pun dibawa ke kantor advertising yang mempekerjakan dia sebagai freelance copy writer. Dia mengamati lalu memilih Ryan (Kieran Sidhu), creative director yang terkenal playboy. Vega memanfaatkan waktu seminggu menjelang siaran untuk mendekati Ryan, untuk mencari tau dari sisi lelaki yang katanya ‘tidak setia’. Usaha Vega ini sempat diprotes oleh kekasihnya, Dion (Richard Kevin), yang mempunyai sifat pasif dan ‘pasrah’. Vega menenangkan Dion dan berjanji bahwa misinya akan berhasil dalam enam hari.

Tapi, ternyata memang apapun bisa terjadi dalam enam hari.Vega jatuh cinta pada Ryan karena Ryan memang tahu benar how to treat a woman, sebuah karakter yang berbeda dengan DION, pacar Vega yang sebenarnya. Hingga di satu titik Vega menyadari bahwa dia lah yang tidak setia. Tidak setia dengan misinya, dengan Dion, dengan sahabatnya, bahkan dengan dirinya sendiri. Akhirnya, siapakah yang Vega dapatkan setelah enam hari?

Kesan awal yang saya dapatkan di film ini adalah, terlalu banyaknya sponsor yang built in dan mengganggu mood saya ketika menonton. Seperti di scene awal, tampak Vega yang sedang siaran dengan backgorund sticker nama radio, begitu juga semua pemain yang merokok, menghisap merek rokok yang sama dan semua pemain yang melakukan kegiatan ketik-mengetik menggunakan satu merek komputer/notebook yang sama. Pertanyaannya adalah, is that possible? Karena bisa saja sponsor tersebut tidak divisualisasikan secara hard sell dan memenuhi setiap sequent. Sebenarnya itu tergantung bagaimana men-treat dan deal di awalnya saja, toh?

Alur cerita cukup menarik dan mampu membuat saya intens menonton, hanya saja –selain gangguan built in sponsor- beberapa pemain pendukung terlihat kaku dan saya gemas karenanya. Thus, tampaknya sutradara menginginkan treatment yang berbeda ketika tokoh mengalami konflik psikologis maupun dengan pemain lainnya, kamera dibuat hand held dan dibiarkan long take atau editingnya menggunakan jumpcut. Itu sebenarnya tidak masalah, asalkan ada planting untuk itu dan perubahannya juga tidak serta merta. Efek umum yang penonton rasakan akhirnya hanyalah sebuah ketergangguan, kecil atau besarnya tingkat ketergangguan tersebut memang tergantung pada penonton, tapi alangkah baiknya jika sutradara lebih memperhatikan detailnya.

Overall, From Bandung With Love adalah usaha positif yang juga patut dapat respon positif, meskipun kota Bandung sebagai setting utama tidak terlalu di-expose di sini. [hp]